Sebuah Cerita hikmah,mudah-mudahan memberikan manfaat buat kita semua.
Sore itu Hasan al-Bashri sedang duduk-duduk di teras rumahnya. Rupanya ia sedang bersantai makan angin. Tidak lama setelah ia duduk bersantai, lewat jenazah dengan iringan-iringan pelayat belakangnya. Di bawah keranda jenazah yang sedang diusung, berjalan gadis kecil sambil terisak-isak. Rambutnya tampak kusut dan terurai, tidak beraturan.
Al-Bashri tertarik penampilan gadis kecil tadi. Ia turun dari rumahnya dan turut dalam iringan-iringan. Ia berjalan di belakang gadis kecil itu. Di antara tangisan gadis kecil itu, terdengar kata-kata yang menggambarkan kesedihan hatinya.
“Ayah, baru kali ini aku mengalami peristiwa seperti ini.”
Hasan al-Bashri menyahuti ucapan sang gadis kecil, “Ayahmu juga sebelumnya tidak mengalami peristiwa seperti ini.”
Kesokan harinya, usai salat subuh, ketika matahari menampakkan dirinya di ufuk timur, sebagaimana biasanya, Al-Bashri duduk di teras rumahnya. Sejurus kemudian gadis kecil kemarin melintas ke arah makam ayahnya. “Gadis kecil yang bijak,” gumam Al-Bashri. “Aku akan ikuti gadis kecil itu.”
Gadis kecil itu tiba di makam ayahnya. Al-Bashri bersembunyi di balik pohon, mengamati gerak-geriknya diam-diam.
Gadis kecil itu berjongkok di pinggir makam. Ia menempelkan pipinya ke atas makam tanah itu. Sejurus kemudian ia meratap dengan kata-kata yang terdengar sekali oleh Al-Bashri.
“Ayah, bagaimana keadaanmu tinggal sendirian dalam kubur yang gelap gulita tanpa pelita dan tanpa pelipur? Ayah, kemarin malam kunyalakan lampu untukmu, semalam siapa yang menyalakannya untukmu? Kemarin masih kubentangkan tikar, kini siapa yang melakukannya, ayah? Kemarin malam aku masih memijit kaki dan tanganmu, siapa yang memijitmu semalam, ayah? Kemarin aku memberimu minum, siapa yang memberimu minum tadi malam? Kemarin malam aku membalikkan badanmu dari sisi yang satu ke sisi yang lain agar engkau merasa nyaman, siapa yang melakukannya untukmu semalam, ayah?
Kemarin malam aku menyelimuti engkau, siapakah yang menyelimuti engkau semalam ayah? Ayah, kemarin malam kuperhatikan wajahmu, siapakah yang memperhatikanmu tadi malam ayah? Kemarin malam kau memanggilku dan aku menyahuti penggilanmu, lantas siapa yang menjawab panggilanmu tadi malam ayah? Kemarin aku suapi engkau saat kau ingin makan, siapakah yang menyuapimu semalam, ayah? Kemarin malam aku memasakkan aneka macam makanan untukmu, ayah, tadi malam siapa yang memasakkanmu?”
Mendengar rintihan gadis kecil itu, Hasan al-Bashri tidak tahan menahan tangisnya. Keluarlah ia dari tempat persembunyiannya, lalu menyambuti kata-kata gadis kecil.
“Hai, gadis kecil! Jangan berkata seperti itu. Tetapi, ucapkanlah: ‘Ayah, kuhadapkan engkau ke arah kiblat, apakah kau masih seperti itu atau telah berubah ayah? Kami kafani engkau dengan kafan yang terbaik, masih utuhkan kain kafan itu, atau telah tercabik-cabik ayah? Kuletakkan engkau di dalam kubur dengan badan yang utuh, apakah masih demikian, atau cacing tanah telah menyantapmu, ayah’?”
“Ulama mengatakan, ‘Hamba yang mati ditanyakan imannya. Ada yang menjawab dan ada juga yang tidak menjawab.’ Bagaimana dengan engkau, ayah? Apakah engkau bisa mempertanggungjawabkan imanmu, ayah? Ataukah engkau tidak berdaya?”
“Ulama mengatakan, ‘Mereka yang mati akan diganti kain kafannya dengan kain kafan dari surga atau dari neraka.’ Engkau mendapat kain kafan dari mana, ayah?”
“Ulama mengatakan, ‘Kubur sebagai taman surga atau jurang menuju neraka. Kubur kadang membelai orang mati seperti kasih ibu, atau terkadang menghimpitnya sebagai tulang-belulang berserakan.’ Apakah engkau dibelai atau dimarahi, ayah?”
“Ayah, kata ulama, orang yang dikebumikan menyesal mengapa tidak memperbanyak amal baik. Orang yang ingkar menyesal dengan tumpukan maksiatnya. Apakah engkau menyesal karena kejelekanmu ataukah karena amal baikmu yang sedikit, ayah?”
“Jika kupanggil, engkau selalu menyahut. Kini aku memanggilmu di atas kuburanmu, lalu mengapa aku tidak bisa mendengar sahutanmu, ayah?”
“Ayah, engkau sudah tiada. Aku sudah tidak bisa menemuimu lagi hingga kiamat nanti. Wahai Allah, jangan Kau rintangi pertemuanku dengan ayahku di akhirat nanti.”
Gadis kecil itu menengok kepada Hasan al-Bashri seraya berkata, “Betapa indah ratapanmu kepada ayahku. Betapa baik bimbingan yang telah kuterima. Engkau ingatkan aku dari lelap lalai.”
Kemudian, Hasan al-Bashri dengan diiringi gadis kecil itu meninggalkan makam. Mereka pulang sambil berderai tangis.
Janganlah malu utk menangis, menangis karna teringat dosa dan bertobat maka mata tersebut tdk akan tersentuh api neraka, Insya Allah. Wallahualam
SUMBER : http://newmasgun.blogspot.com/2009/04/kisah-hikmah-tangisan-sang-gadis-kecil.html
Kamis, 02 Desember 2010
Selasa, 23 November 2010
Mencintai Penanda Dosa
oleh Salim A. Fillah Empat pada 19 November 2010 jam 9:32
Dalam hidup, Allah sering menjumpakan kita dengan orang-orang yang membuat hati bergumam lirih, “Ah, surga masih jauh.” Pada banyak kejadian, ia diwakili oleh orang-orang penuh cahaya yang kilau keshalihannya kadang membuat kita harus memejam mata.
Dalam tugas sebagai Relawan Masjid di seputar Merapi hari-hari ini, saya juga bersua dengan mereka-mereka itu. Ada suami-isteri niagawan kecil yang oleh tetangganya sering disebut si mabrur sebelum haji. Selidik saya menjawabkan, mereka yang menabung bertahun-tahun demi menjenguk rumah Allah itu, menarik uang simpanannya demi mencukupi kebutuhan pengungsi yang kelaparan dan kedinginan di pelupuk mata.
“Kalau sudah rizqi kami”, ujar si suami dengan mata berkaca nan manusiawi, “Kami yakin insyaallah akan kesampaian juga jadi tamu Allah. Satu saat nanti. Satu saat nanti.” Saya memeluknya dengan hati gerimis. Surga terasa masih jauh di hadapan mereka yang mabrur sebelum berhaji.
Ada lagi pengantin surga. Keluarga yang hendak menikahkan dan menyelenggarakan walimah putra-putrinya itu bersepakat mengalihkan beras dan segala anggaran ke barak pengungsi. Nikah pemuda-pemudi itu tetap berlangsung. Khidmat sekali. Dan perayaannya penuh doa yang mungkin saja mengguncang ‘Arsyi. Sebab semua pengungsi yang makan hidangan di barak nan mereka dirikan berlinangan penuh haru memohonkan keberkahan.
Catatan indah ini tentu masih panjang. Ada rumah bersahaja berkamar tiga yang menampung seratusan pelarian musibah. Untuk pemiliknya saya mendoa, semoga istana surganya megah gempita. Ada juru masak penginapan berbintang yang cutikan diri, membaktikan keahlian di dapur umum. Ada penjual nasi gudheg yang sedekahkan 2 pekan dagangannya bagi ransum para terdampak bencana. Semoga tiap butir nasi, serpih sayur, dan serat lelaukan bertasbih untuk mereka.
Ada juga tukang pijit dan tukang cukur yang keliling cuma-cuma menyegarkan raga-raga letih, barak demi barak. Ad dokter-dokter yang rela tinggalkan kenyamanan ruang berpendingin untuk berdebu-debu dan berjijik-jijik. Ada lagi para mahasiswa dan muda-mudi yang kembali mengkanakkan diri, membersamai dan menceriakan bocah-bocah pengungsi. Semua kebermanfaatan surgawi itu, sungguh membuat iri.
***
“Ah, surga masih jauh.”
Setelah bertaburnya kisah kebajikan, izinkan kali ini saya justru mengajak untuk menggumamkan keluh syahdu itu dengan belajar dari jiwa pendosa. Jiwa yang pernah gagal dalam ujian kehidupan dariNya. Mengapa tidak? Bukankah Al Quran juga mengisahkan orang-orang gagal dan pendosa yang berhasil melesatkan dirinya jadi pribadi paling mulia?
Musa pernah membunuh orang. Yunus bahkan sempat lari dari tugas risalah yang seharusnya dia emban. Adam juga. Dia gagal dalam ujian untuk tak mendekat pada pohon yang diharamkan baginya. Tapi doa sesalnya diabadikan Al Quran. Kita membacanya penuh takjub dan khusyu’. “Rabb Pencipta kami, telah kami aniaya diri sendiri. Andai Kau tak sudi mengampuni dan menyayangi, niscaya jadilah kami termasuk mereka yang rugi-rugi.” Mereka pernah menjadi jiwa pendosa, tetapi sikap terbaik memuliakan kelanjutan sejarahnya.
Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang selalu mengatakan bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mafhum, bahwa tiap pendosa yang bertaubat, berhijrah, dan berupaya memperbaiki diri umumnya tersuasanakan untuk membenci apa-apa yang terkait dengan masa lalunya. Hatinya tertuntun untuk tak suka pada tiap hal yang berhubungan dengan dosanya. Tapi bagaimana jika ujian berikut setelah taubat adalah untuk mencintai penanda dosanya?
Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang berjuang untuk mencintai penanda dosanya.
“Saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih tangguh dari saya.
“Ah, surga masih jauh.”
Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia muslimah nan taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan. Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia di nafasnya.
Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang dan kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’ di kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah mengentas banyak kawan dan sungguh membanggakan. Awal-awal, si muslimah nan berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu tak percaya diri. Tapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi semuanya.
Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar batas syari’at tetap terjaga.
“’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “’Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berjalan?”
“Sayangnya tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?”
“Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?”
Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi-idzniLlah, di tengah jalan sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat dan darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan”, kata muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun kami jaga sebaik-baiknya dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu memudah-mudahkan. AstaghfiruLlah.”
Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu tak besar. Tapi asri dan nyaman. Tidak megah. Tapi anggun dan teduh.
Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaithan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang seharusnya kami bangun surga dalam ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu”, dia tersedu. Saya tak tega memandang dia dan sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.
“Kisahnya tak berhenti sampai di situ”, lanjutnya setelah agak tenang. “Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis di jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur.”
Dan kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.
“Setelah hampir empat bulan koma”, sambungnya, “Akhirnya saya sadar. Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada pilihan katanya. Dia menyebutnya “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu bagi orang yang terluka oleh dosa.
“Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon suami saya, ayah dari anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu.”
“SubhanaLlah”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkaulah rupanya Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya Nak, karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak, ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia tak sabar menyeru kaumnya.
“Doakan saya kuat Ustadz”, ujarnya. Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seorang yang begitu tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan, “Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal karena frustrasi?”
“Doakan saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari mencintai anak itu sepenuh hati.” Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta doanya pun menakjubkan.
Allah, sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan sepenuh hati. Allah, jadikan wanita ini semulia Maryam. Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu dengan kesabarannya meniti hari-hari bersama sang buah hati. Allah, balasi tiap kegigihannya mencintai penanda dosa dengan kemuliaan di sisiMu dan di sisi orang-orang beriman. Allah, sebab ayahnya telah Kau panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhanMu nan Maha Rahman dan Rahim.
Allah, jangan pula izinkan hati kami sesedikit apapun menghina jiwa-jiwa pendosa. Sebab ada kata-kata Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Kitab Az Zuhd yang selalu menginsyafkan kami. “Sejak dulu kami menyepakati”, tulis beliau, “Bahwa jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”
-salim a. fillah, www.safillah.co.cc-
***
NB: sahibatul hikayah berpesan agar kisah ini diceritakan untuk berbagi tentang betapa pentingnya menjaga iman, rasa taqwa, dan tiap detail syari’atNya di tiap langkah kehidupan. Juga agar ada pembelajaran untuk kita bisa memilih sikap terbaik menghadapi tiap uji kehidupan. Semoga Allah menyayanginya.
Dalam hidup, Allah sering menjumpakan kita dengan orang-orang yang membuat hati bergumam lirih, “Ah, surga masih jauh.” Pada banyak kejadian, ia diwakili oleh orang-orang penuh cahaya yang kilau keshalihannya kadang membuat kita harus memejam mata.
Dalam tugas sebagai Relawan Masjid di seputar Merapi hari-hari ini, saya juga bersua dengan mereka-mereka itu. Ada suami-isteri niagawan kecil yang oleh tetangganya sering disebut si mabrur sebelum haji. Selidik saya menjawabkan, mereka yang menabung bertahun-tahun demi menjenguk rumah Allah itu, menarik uang simpanannya demi mencukupi kebutuhan pengungsi yang kelaparan dan kedinginan di pelupuk mata.
“Kalau sudah rizqi kami”, ujar si suami dengan mata berkaca nan manusiawi, “Kami yakin insyaallah akan kesampaian juga jadi tamu Allah. Satu saat nanti. Satu saat nanti.” Saya memeluknya dengan hati gerimis. Surga terasa masih jauh di hadapan mereka yang mabrur sebelum berhaji.
Ada lagi pengantin surga. Keluarga yang hendak menikahkan dan menyelenggarakan walimah putra-putrinya itu bersepakat mengalihkan beras dan segala anggaran ke barak pengungsi. Nikah pemuda-pemudi itu tetap berlangsung. Khidmat sekali. Dan perayaannya penuh doa yang mungkin saja mengguncang ‘Arsyi. Sebab semua pengungsi yang makan hidangan di barak nan mereka dirikan berlinangan penuh haru memohonkan keberkahan.
Catatan indah ini tentu masih panjang. Ada rumah bersahaja berkamar tiga yang menampung seratusan pelarian musibah. Untuk pemiliknya saya mendoa, semoga istana surganya megah gempita. Ada juru masak penginapan berbintang yang cutikan diri, membaktikan keahlian di dapur umum. Ada penjual nasi gudheg yang sedekahkan 2 pekan dagangannya bagi ransum para terdampak bencana. Semoga tiap butir nasi, serpih sayur, dan serat lelaukan bertasbih untuk mereka.
Ada juga tukang pijit dan tukang cukur yang keliling cuma-cuma menyegarkan raga-raga letih, barak demi barak. Ad dokter-dokter yang rela tinggalkan kenyamanan ruang berpendingin untuk berdebu-debu dan berjijik-jijik. Ada lagi para mahasiswa dan muda-mudi yang kembali mengkanakkan diri, membersamai dan menceriakan bocah-bocah pengungsi. Semua kebermanfaatan surgawi itu, sungguh membuat iri.
***
“Ah, surga masih jauh.”
Setelah bertaburnya kisah kebajikan, izinkan kali ini saya justru mengajak untuk menggumamkan keluh syahdu itu dengan belajar dari jiwa pendosa. Jiwa yang pernah gagal dalam ujian kehidupan dariNya. Mengapa tidak? Bukankah Al Quran juga mengisahkan orang-orang gagal dan pendosa yang berhasil melesatkan dirinya jadi pribadi paling mulia?
Musa pernah membunuh orang. Yunus bahkan sempat lari dari tugas risalah yang seharusnya dia emban. Adam juga. Dia gagal dalam ujian untuk tak mendekat pada pohon yang diharamkan baginya. Tapi doa sesalnya diabadikan Al Quran. Kita membacanya penuh takjub dan khusyu’. “Rabb Pencipta kami, telah kami aniaya diri sendiri. Andai Kau tak sudi mengampuni dan menyayangi, niscaya jadilah kami termasuk mereka yang rugi-rugi.” Mereka pernah menjadi jiwa pendosa, tetapi sikap terbaik memuliakan kelanjutan sejarahnya.
Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang selalu mengatakan bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mafhum, bahwa tiap pendosa yang bertaubat, berhijrah, dan berupaya memperbaiki diri umumnya tersuasanakan untuk membenci apa-apa yang terkait dengan masa lalunya. Hatinya tertuntun untuk tak suka pada tiap hal yang berhubungan dengan dosanya. Tapi bagaimana jika ujian berikut setelah taubat adalah untuk mencintai penanda dosanya?
Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang berjuang untuk mencintai penanda dosanya.
“Saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih tangguh dari saya.
“Ah, surga masih jauh.”
Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia muslimah nan taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan. Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia di nafasnya.
Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang dan kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’ di kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah mengentas banyak kawan dan sungguh membanggakan. Awal-awal, si muslimah nan berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu tak percaya diri. Tapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi semuanya.
Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar batas syari’at tetap terjaga.
“’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “’Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berjalan?”
“Sayangnya tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?”
“Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?”
Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi-idzniLlah, di tengah jalan sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat dan darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan”, kata muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun kami jaga sebaik-baiknya dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu memudah-mudahkan. AstaghfiruLlah.”
Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu tak besar. Tapi asri dan nyaman. Tidak megah. Tapi anggun dan teduh.
Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaithan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang seharusnya kami bangun surga dalam ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu”, dia tersedu. Saya tak tega memandang dia dan sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil.
“Kisahnya tak berhenti sampai di situ”, lanjutnya setelah agak tenang. “Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis di jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur.”
Dan kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan.
“Setelah hampir empat bulan koma”, sambungnya, “Akhirnya saya sadar. Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada pilihan katanya. Dia menyebutnya “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu bagi orang yang terluka oleh dosa.
“Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon suami saya, ayah dari anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu.”
“SubhanaLlah”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkaulah rupanya Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya Nak, karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak, ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia tak sabar menyeru kaumnya.
“Doakan saya kuat Ustadz”, ujarnya. Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seorang yang begitu tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan, “Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal karena frustrasi?”
“Doakan saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari mencintai anak itu sepenuh hati.” Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta doanya pun menakjubkan.
Allah, sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan sepenuh hati. Allah, jadikan wanita ini semulia Maryam. Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu dengan kesabarannya meniti hari-hari bersama sang buah hati. Allah, balasi tiap kegigihannya mencintai penanda dosa dengan kemuliaan di sisiMu dan di sisi orang-orang beriman. Allah, sebab ayahnya telah Kau panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhanMu nan Maha Rahman dan Rahim.
Allah, jangan pula izinkan hati kami sesedikit apapun menghina jiwa-jiwa pendosa. Sebab ada kata-kata Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Kitab Az Zuhd yang selalu menginsyafkan kami. “Sejak dulu kami menyepakati”, tulis beliau, “Bahwa jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”
***
NB: sahibatul hikayah berpesan agar kisah ini diceritakan untuk berbagi tentang betapa pentingnya menjaga iman, rasa taqwa, dan tiap detail syari’atNya di tiap langkah kehidupan. Juga agar ada pembelajaran untuk kita bisa memilih sikap terbaik menghadapi tiap uji kehidupan. Semoga Allah menyayanginya.
Kamis, 23 September 2010
Kenapa Sih Kamu Tidak Mau Punya Pacar
oleh Khoiruddin
Pertanyaan inilah yg selalu dilontarkan oleh teman-teman wanita Fatimah. Mereka sungguh merasa heran dengan Fatimah, yg belum punya pacar padahal umur fatimah sudah lebih dari sweet seventeen. Rata-rata hampir semua teman Fatimah sudah memiliki pacar, yang kata mereka pacaran itu indah bangat , serasa dunia milik berdua (waduhh..!). Diantara teman-teman Fatimah pun ada yang berjilbab (jilbab versi masa kini) dan sudah memiliki pacar.
Meraka juga terheran-heran sama Fatiamah. Kenapa demikian karena Fatimah termasuk gadis yg paling cantik dan manis diantara mereka. Aura kecantikan Fatimah begitu memikat mereka , padahal fatimah masih menggunakan hijab (pakian longgar yg menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan). Pernah suatu saat teman-teman wanita Fatimah datang ke rumah Fatimah untuk mengerjakan tugas kelompok. Kebetulan waktu itu Fatimah sedang mau mengerjakan sholat Zuhur, karena semua teman-temanya Fatimah adalah wanita. Fatimah tidak merasa khawatir untuk membuka Hijabnya untuk keperluan wudu, sehingga nampaklah rambut indah fatimah serta leher fatimah. Saat itu teman-teman wanita Fatimah melihat Fatimah tidak memakai penetup kepala dan rambut serta leharnya kelihatan, mereka semua terpana bahkan salah seorang berteriak histeris : Wooww imah kamu cantik sekali ..!. Fatimah tersenyum mendengar teriakan keterpesonaan temannya itu. Salah satu temannya berkata: “Imah kamu tidak kalah sama pemain sinetron yang cantik itu, itu lo si Bella..?!”. Fatimah membalas : “ si Bella siapa ya..?”. Salah satu temannya heran: “Aduh Imah kamu tidak tahu si bella , semua orang juga tahu lagi, dia pemain sinetron yang lagi naik daun lo”. “Maaf Imah gak pernah nonton sinetron” balas fatimah. Salah seorang dari mereka bercanda sambil nyindir : “Makanya Imah jangan baca buku agama terus dong, bosan tau, sekali-kali nonton sinetron kek, ke pub kek, nongkrong malam mingguan kek sama kita-kita, kan biar gaul gitu, kan malu nanti gak dibilang gaul , masak si Bella aja kagak kenal”. Fatimah hanya tersenyum sedih dan dalam hatinya berkata : “ Ya Allah berilah petunjuk kepada teman-temanku ini”.
Bukannya Fatimah tidak pernah memberikan nasehat kepada mereka bahkan sering . Namun mereka hanya tersenyum masam-masam aja seolah menganggap remeh nasehat dari Fatimah bahkan setelah diberi nasehat bukannya berterimakasih tetapi malah dibuat candaan . “ Iya bu ustadzah” kata seorang temannya saat itu (Astagafirulloh). Bahkan yang lebih gila lagi ada seorang temannya , yang menganjurkan Fatimah untuk membuka hijabnya dan menganjurkan berpakaian ketat. Alasannya agar semua pria bisa melihat pesona kecantikan wajah Fatimah dan keseksian tubuh Fatimah. “ Eh Imah , kita-kita kan tau kamu cantik, full cantik, kalau boleh usul ni , itu jilbab dibuka saja. Berpakain kayak kita-kita gitu lo. Aku yakin para pria tampan dan ganteng akan datang ke Imah, untuk mendapatkan cinta Imah, kita-kita sebagai teman ikut bangga lo , barangkali aja kita-kita dapat keciprakan pria ganteng sisa-sisa dari Imah (sambil tertawa genit) ..” . Begitu kata salah seorang teman sekolah Fatimah. Tentu saja Fatimah yang tahu hukum bertabbaruj itu menolak dengan keras usulan tersebut.
Dalam kesendiriannya Fatimah berdoa agar Allah menunjuki atau memberi hidayah teman-temannya. Fatimah pernah dengar dari seorang temannya yang berpendapat. “ Imah kamu kan tahu aku ini pake jilbab juga, yah walau pun beda-beda dikit aja sama kamu, tapi aku pacaran juga, kan tidak ada salahnya punya pacar asalkan kita bisa menjaga diri kita” . Begitu kata pendapat temannya.
Apakah dia tidak tahu bahwa islam sangat perhatian tentang menjaga hati. Islam tidak mengekang cinta seseorang karena itu sudah fitrah manusia berlainan jenis . Tetapi islam menganjurkan untuk mengikuti aturan yang ada. Aturan dari yang menciptakan cinta itu yaitu Allah. Mungkin pendapat temannya Fatimah itu benar bahwa mereka tidak melakukan apa-apa dan bisa jaga diri. Ok-lah anggap saja mereka tidak melakukan hubungan badan seperti suami isteri. Tetapi berkali-kali Fatimah menjelaskan ke teman-temannya bahwa zina itu bukan hanya hubungan badan diluar nikah tapi ada beberapa zina selain itu.
Kemudian Fatimah teringat bunyi hadist: ““Ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina, akan diperolehnya hal itu, tidak bisa tidak. Kedua mata itu berzina, zinanya dengan memandang. Kedua telinga itu berzina, zinanya dengan mendengarkan. Lisan itu berzina, zinanya dengan berbicara. Tangan itu berzina, zinanya dengan memegang. Kaki itu berzina, zinanya dengan melangkah. Sementara itu, hati berkeinginan dan beranganangan sedangkan kemaluan yang membenarkan itu semua atau mendustakannya.” (H.R. Muslim: 2657, alBukhori: 6243).
Fatimah pernah membaca kitab dari imam An Nawawi tentang penjelasan hadis diatas bahwasanya : Pada anak Adam itu ditetapkan bagiannya dari zina. Di antara mereka ada yang melakukan zina secara hakiki dengan memasukkan farji (kemaluan)nya ke dalam farji yang haram. Ada yang zinanya secara majazi (kiasan) dengan memandang wanita yang haram, mendengar perbuatan zina dan perkara yang mengantarkan kepada zina, atau dengan sentuhan tangan di mana tangannya meraba wanita yang bukan mahromnya atau menciumnya, atau kakinya melangkah untuk menuju ke tempat berzina, atau melihat zina, atau menyentuh wanita yang bukan mahromnya, atau melakukan pembicaraan yang haram dengan wanita yang bukan mahromnya dan semisalnya, atau ia memikirkan dalam hatinya. Semuanya ini termasuk zina secara majazi.” (Syarah Shohih Muslim: 16/156157).
Sambil bergumam dalam hati Fatimah hampir dapat memastikan bahwa adakah di antara mereka tatkala berpacaran dapat menjaga pandangan mata mereka dari melihat yang haram sedangkan memandang wanita ajnabiyyah (bukan mahrom) atau lak-ilaki ajnabi (bukan mahrom) termasuk perbuatan yang diharamkan?!.
Salah seorang teman Fatimah berkata bahwa mereka berpacaran untuk proses pengenalan sebalum menuju ke pernikahan . Mereka berpendapat : “Bagaimana mungkin kita menikah tanpa pacaran terlebih dahulu tanpa mengenal masing-masing karekternya masing-masing. Gak mungkin dong ah” . Betul islam juga menganjurkan untuk mengenal pasangannya masing-masing tetapi bukan dengan cara berpacaran. Fatimah juga teringat akan hadis nabi berikut ini : : "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka tidak boleh baginya berkhalwat (bedua-duaan) dengan seorang wanita, sedangkan wanita itu tidak bersama mahramnya. Karena sesungguhnya yang ketiga di antara mereka adalah setan" (HR Ahmad).
Fatimah teringat akan kisah seorang sahabat yang datang kepada Rasul. Sahabat ini datang kepada Rasul untuk menyampaikan niatnya bahwa dia ingin menikah. Kemudian Rasululloh bertanya : “ Bagus , tapi apakah kamu sudah mengenali calon mu itu..?” . Kemudian si sahabat rasul ini menjawab : “ Belum ya Rasul..”. Selanjutnya rasul menyuruh dia agar terlebih dahulu mengenalinya. Artinya kita diwajibkan untuk mengenal pasangan kita terlebih dahulu (Ta’aruf) tapi bukan dengan pacaran melainkan dengan aturan yang ada.
Kemudian Fatimah juga teringat akan hadis berikut : “Sekalikali tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahromnya.” (H.R. alBukhori: 1862, Muslim: 1338). Pada dasarnya kita mengenal wanita yang ingin kita nikahi itu bisa melalui mahromnya wanita tersebut. Jadi bukan berdua-duan. Jika misalnya kita ingin meneliti akhlak si wanita tersebut tanpa sepengetahuannya kita boleh mengutus seseorang untuk menelitinya. Misalnya dengan temannya si mahrom wanita tersebut. Atau bisa juga memanfaatkan teknologi yang lagi ngetrend sekarang. Tukar biodatanya masing-masing via email. Juga bisa juga lewat chatting tetapi perlu diingat juga chatting disini bukan tidak ada batasnya. Dilarang chatting bebas artinya harus dalam rambu-rambu yang dibenarkan. Tidak boleh ada kata-kata maksiat atau yang lagi ngetren sekarang dengan menggunakan kata cinta-cintaan, sayang-sayangan dan sejenis itu. Chatting disini dilakukan semata-mata untuk mengenal si wanita tersebut. Saling tukar menukar informasi yang berguna ke proses penganalan tersebut dan tidak mengarah kepada maksiat juga tidak melalaikan serta mengotori hati.
Fatimah tidak mau menyalahkan sepenuhnya persepsi atau pandangan dari teman-temannya itu. Fatimah sadar bahwa yang mempengaruhi mereka adalah media-media ala barat , juga pergaulan ala barat yang banyak digemari sekarang ini. Fatimah menyadari bahwa acara-acara televisi sekarang mulai dari lagu-lagunya , filem-filemnya sampai sinetron-sinetronnya kebanyakan menyajikan cinta berlainan jenis. Dan cinta itu diwujudkan dengan pacaran dan mereka terjebak dalam lingkaran setan pergaulan seperti itu.
Fatimah dalam sholatnya dan dalam kesendiriannya hanya bisa berdoa : “ Ya Allah berilah hidayah kepada teman-teman hamba agar bisa merasakan, menikmati indahnya hasil menjaga hati, indahnya menjaga bagian tubuh ini dari hal-hal yang Engkau larang. Tangan ini hanya untuk dijalanMU , Mata ini hanya untuk melihat yg tidak Engkau larang dan segala anggota tubuh ini adalah amanah dariMU, yang engkau perintahkan untuk digunakan dijalanMU. Ya Allah berilah kenikmatan dan keinginan yang luar biasa, bagi hambaMU ini dan teman-teman hambaMU untuk selalu berada dijalanMU dan berilah kebencian yang luar biasa bagi hambaMU ini dan teman-teman hamba dari hal-hal yang Engkau larang. Sesungguhnya Engkau maha mendengar dan maha penyayang bagi hambaMU yang ikhlas memohon kepadaMU amin ya Allah”.
Seraya meneteskan air mata begitulah doa singkat yang selalu di lafazkan oleh Fatimah dalam setiap sholatnya dan dalam kesendiriaannya.
Rabu, 18 Agustus 2010
Jangan Remehkan Doa Kecil
“Dan kamu menganggapnya yang ringan saja, padahal di sisi Allah adalah besar.” (An-Nur 150 ).
Semua orang pasti ingin sukses dan ingin mempersembahkan sesuatu yang terbaik dalam hidupnya yang hanya sekali itu. Baik itu sukses dalam keluarga, karir, relasi sosial dengan teman, tetangga, membesarkan putra-putrinya, mewujudkan masterpiece (karya besar), maupun sukses menapaki jalan terjal nan panjang menuju surga Allah.
Dalam kehidupan nyata, hanya segelintir orang barang kali yang menikmati “sukses warisan” atau “sukses rekayasa” ataupun “sukses mukjizat”. Sembilan puluh sembilan persen kesuksesan itu adalah hasil olah keringat dan kerja keras. Orang barat bilang: “Success is a condition, not fate.” Kesuksesan adalah sebuah kondisi, bukanlah takdir.”
Orang Barat sering mengatakan: “Big success is usually formed by great number of small achievment” (kesuksesan besar itu adalah akumulasi dari sekian banyak kesuksesan-kesuksesan kecil”. Seorang yang sukses menjadi rektor di sebuah universitas, pastilah dia telah mengkoleksi sekian banyak dari kesuksesan-kesuksesan kecil. Dia pastilah orang yang sukses mengendalikan emosinya, sukses memberikan kesejukan pada orang lain, sukses dalam menepati janji, sukses menjaga kedisiplinan, sukses mempertahankan kejujuran, dan lain-lain. Sama halnya dengan meningkatnya bobot badan kita dari 60 ke 70 Kg dalam kurun waktu 5 bulan misalnya. Peningkatan ini tentu tidak drastis melainkan dipengaruhi oleh pola hidup keseharian dan dari hal-hal kecil.
Menjelang kedatangan Rasulullah di Madinah, penduduk Madinah yang belum kenal sama sekali itu begitu merindukan dan menantikan kedatangannya, mendengar namanya saja mereka merasa sejuk. Kondisi ini tidak terbentuk dalam waktu yang sekejap, tidak cukup dengan tebar pesona hanya dua bulan seperti para caleg. Rasulullah mempraktekkan dan mencontohkan akhlaqul karimah itu lebih dari 13 tahun selama di Mekkah dalam kondisi masyarakat yang masih jahili dan paganik. Kesuksesan dan citra positif tidak mungkin bisa dibentuk secara instan.
Untuk bisa sukses meraih kebahagiaan abadi di akherat juga demikian. Kita harus menyusun target-target kesuksesan kecil dengan menjalankan sunnah-sunnah nabi dan harus membentengi diri dari perbuatan-perbuatan makruh yang remeh. Oleh karenanya tepat sekali jika Rasulullah bersabada dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dari abu Dzar:
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
(janganlah engkau meremehkan kebaikan sekecil apapun, meski hanya dengan senyuman saat bertemu saudaramu).
Hadist di atas memberikan isyarat bahwa Islam sangat memperhatikan segala bentuk kebaikan mulai dari kebaikan berskala kecil sampai yang berskala besar. Islam tidak hanya memperhatikan ibadah mahdhah seperti shalat, zakat, puasa dll, tetapi juga ibadah mini seperti senyuman, empati, ucapan terima kasih, jabatan tangan, silatur rahim dll.
Pada saat yang sama, Islam juga melarang meremehkan dosa meskipun kecil. Masih ingatkah kita sabda Rasulullah SAW dari Addy bin Hatim :
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
(berlindunglah dari neraka meski dengan sedekah sepotong korma).
Hadist di atas senada juga dari Abi Hurairah (Riwayat Ibn Majah):
أَكْثَرُ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنَ الْبَوْلِ
(kebanyakan siksa kubur terjadi akibat percikan air kencing).
Jadi Islam tidak hanya melarang zina, korupsi, musyrik, tetapi juga cemberutnya wajah, antipati, egois, tidak adil. Sekecil apapun kebaikan dan selembut apapun kejelakan itu akan diperhitungkan oleh Allah:
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8
Maka barang siapa melakukan kebaikan sekecil atom, Allah melihatnya dan barang siapa melakukan kejelekan sekecil atom, Allah juga melihatnya.
Orang Islam harus mencari alternatif pintu-pintu kebaikan karena kita tidak tahu amal yang mana dari kita yang diterima Allah dan dan amal mana yang ditolak oleh Allah? Dan kita juga tidak tahu amal mana yang mengantar kita menjadi penghuni taman surga dan amal mana yang menjerumuskankan ke jurang neraka. Alangkah indahnya, perintah Rasulullah pada Abu Dzarr:
يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاهَدْ جِيرَانَكَ (رواه مسلم
Wahai Abu Dzarr, apabila kau masak sayur perbanyaklah kuahnya dan undanglah tetanggamu (HR Muslim).
Masih ingatkah kita kisah seorang laki-laki yang mendapatkan fasilitas surga dari Allah lantaran kepeduliannya pada anjing yang kehausan (HR. Bukhari dari Abu Hurairah) atau disiksanya seorang wanita di neraka akibat membiarkan kucing kelaparan (HR Bukhari dari Ibn Umar). Atau pernahkah membaca kisah sebuah mimpi sang santri yang memimpikan gurunya (Imam Ghazali) bisa selamat dati neraka hanya gara-gara memberikan kesempatan pada semut untuk minum tintanya.
Kalau kita sebagai seorang ayah jangan remehkan ciuman sayang pada anak-anak kita, kalimat-kalimat motivasi yang konstruktif, memperdengarkan lantunan ayat-ayat al-Quran dan memberi pajanan pilihan kata yang santun. Siapa tahu itu menjadi jalan sholehnya anak-anak kita.
Kalau kita sebagai anak, jangan remehkan ta’zhim dan doa kita pada orang tua dan jangan lupakan melaksanakan pesan dan amanat mereka, siapa tahu itu menjadi sebab kebahagian mereka dan menjadi jalan husnul khotimah mereka.
Kalau kita sebagai guru/dosen jangan remehkan doa-doa kita untuk murid-murid kita, menebar senyum di sela-sela mengajar, memudahkan pertemuan kita dengan mereka, siapa tahu itu menjadi jalan kesuksesan kita dan mereka.
Kalau kita sebagai murid atau mahasiswa, jangan remehkan ta’zhim kita pada guru-guru kita, jangan abaikan sedikit apapun ilmu yang diberikan siapa tahu itu menjadi jalan kemanfaatan ilmu kita.
Dalam kehidupan nyata, hanya segelintir orang barang kali yang menikmati “sukses warisan” atau “sukses rekayasa” ataupun “sukses mukjizat”. Sembilan puluh sembilan persen kesuksesan itu adalah hasil olah keringat dan kerja keras. Orang barat bilang: “Success is a condition, not fate.” Kesuksesan adalah sebuah kondisi, bukanlah takdir.”
Orang Barat sering mengatakan: “Big success is usually formed by great number of small achievment” (kesuksesan besar itu adalah akumulasi dari sekian banyak kesuksesan-kesuksesan kecil”. Seorang yang sukses menjadi rektor di sebuah universitas, pastilah dia telah mengkoleksi sekian banyak dari kesuksesan-kesuksesan kecil. Dia pastilah orang yang sukses mengendalikan emosinya, sukses memberikan kesejukan pada orang lain, sukses dalam menepati janji, sukses menjaga kedisiplinan, sukses mempertahankan kejujuran, dan lain-lain. Sama halnya dengan meningkatnya bobot badan kita dari 60 ke 70 Kg dalam kurun waktu 5 bulan misalnya. Peningkatan ini tentu tidak drastis melainkan dipengaruhi oleh pola hidup keseharian dan dari hal-hal kecil.
Menjelang kedatangan Rasulullah di Madinah, penduduk Madinah yang belum kenal sama sekali itu begitu merindukan dan menantikan kedatangannya, mendengar namanya saja mereka merasa sejuk. Kondisi ini tidak terbentuk dalam waktu yang sekejap, tidak cukup dengan tebar pesona hanya dua bulan seperti para caleg. Rasulullah mempraktekkan dan mencontohkan akhlaqul karimah itu lebih dari 13 tahun selama di Mekkah dalam kondisi masyarakat yang masih jahili dan paganik. Kesuksesan dan citra positif tidak mungkin bisa dibentuk secara instan.
Untuk bisa sukses meraih kebahagiaan abadi di akherat juga demikian. Kita harus menyusun target-target kesuksesan kecil dengan menjalankan sunnah-sunnah nabi dan harus membentengi diri dari perbuatan-perbuatan makruh yang remeh. Oleh karenanya tepat sekali jika Rasulullah bersabada dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Muslim dari abu Dzar:
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
(janganlah engkau meremehkan kebaikan sekecil apapun, meski hanya dengan senyuman saat bertemu saudaramu).
Hadist di atas memberikan isyarat bahwa Islam sangat memperhatikan segala bentuk kebaikan mulai dari kebaikan berskala kecil sampai yang berskala besar. Islam tidak hanya memperhatikan ibadah mahdhah seperti shalat, zakat, puasa dll, tetapi juga ibadah mini seperti senyuman, empati, ucapan terima kasih, jabatan tangan, silatur rahim dll.
Pada saat yang sama, Islam juga melarang meremehkan dosa meskipun kecil. Masih ingatkah kita sabda Rasulullah SAW dari Addy bin Hatim :
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
(berlindunglah dari neraka meski dengan sedekah sepotong korma).
Hadist di atas senada juga dari Abi Hurairah (Riwayat Ibn Majah):
أَكْثَرُ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنَ الْبَوْلِ
(kebanyakan siksa kubur terjadi akibat percikan air kencing).
Jadi Islam tidak hanya melarang zina, korupsi, musyrik, tetapi juga cemberutnya wajah, antipati, egois, tidak adil. Sekecil apapun kebaikan dan selembut apapun kejelakan itu akan diperhitungkan oleh Allah:
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8
Maka barang siapa melakukan kebaikan sekecil atom, Allah melihatnya dan barang siapa melakukan kejelekan sekecil atom, Allah juga melihatnya.
Orang Islam harus mencari alternatif pintu-pintu kebaikan karena kita tidak tahu amal yang mana dari kita yang diterima Allah dan dan amal mana yang ditolak oleh Allah? Dan kita juga tidak tahu amal mana yang mengantar kita menjadi penghuni taman surga dan amal mana yang menjerumuskankan ke jurang neraka. Alangkah indahnya, perintah Rasulullah pada Abu Dzarr:
يَا أَبَا ذَرٍّ إِذَا طَبَخْتَ مَرَقَةً فَأَكْثِرْ مَاءَهَا وَتَعَاهَدْ جِيرَانَكَ (رواه مسلم
Wahai Abu Dzarr, apabila kau masak sayur perbanyaklah kuahnya dan undanglah tetanggamu (HR Muslim).
Masih ingatkah kita kisah seorang laki-laki yang mendapatkan fasilitas surga dari Allah lantaran kepeduliannya pada anjing yang kehausan (HR. Bukhari dari Abu Hurairah) atau disiksanya seorang wanita di neraka akibat membiarkan kucing kelaparan (HR Bukhari dari Ibn Umar). Atau pernahkah membaca kisah sebuah mimpi sang santri yang memimpikan gurunya (Imam Ghazali) bisa selamat dati neraka hanya gara-gara memberikan kesempatan pada semut untuk minum tintanya.
Kalau kita sebagai seorang ayah jangan remehkan ciuman sayang pada anak-anak kita, kalimat-kalimat motivasi yang konstruktif, memperdengarkan lantunan ayat-ayat al-Quran dan memberi pajanan pilihan kata yang santun. Siapa tahu itu menjadi jalan sholehnya anak-anak kita.
Kalau kita sebagai anak, jangan remehkan ta’zhim dan doa kita pada orang tua dan jangan lupakan melaksanakan pesan dan amanat mereka, siapa tahu itu menjadi sebab kebahagian mereka dan menjadi jalan husnul khotimah mereka.
Kalau kita sebagai guru/dosen jangan remehkan doa-doa kita untuk murid-murid kita, menebar senyum di sela-sela mengajar, memudahkan pertemuan kita dengan mereka, siapa tahu itu menjadi jalan kesuksesan kita dan mereka.
Kalau kita sebagai murid atau mahasiswa, jangan remehkan ta’zhim kita pada guru-guru kita, jangan abaikan sedikit apapun ilmu yang diberikan siapa tahu itu menjadi jalan kemanfaatan ilmu kita.
Jangan Remehkan Hal-hal Kecil
SETIAP Muslim meyakini bahwa setiap kehidupan di dunia ini ada dalam koridor pengawasan Allah SWT. Begitu pun halnya dengan perilaku manusia. Ia tidak luput dari pengawasan-Nya.
Meremehkan berarti memandang remeh (tidak penting, kecil, dsb); menghinakan; mengabaikan. Untuk itu, jangan anggap remeh terhadap hal-hal kecil yang kita perbuat di dunia. kita harus selalu berhati-hati tentang niat, ucapan dan perilaku. Bukan hanya menyangkut eksistensi harga diri sesama manusia, tapi lebih dari itu kita harus mempertanggung jawabkan di hadapan Allah Ta’ala.
Artinya, jika hal-hal kecil yang diremehkan itu adalah sesuatu yang melanggar ketentuan-Nya bisa berakibat celaka di dunia dan akherat. Sebaliknya, sangat disayangkan bila hal-hal kecil yang kita remehkan itu merupakan sesuatu yang bernilai taqwa dan bermutu amal saleh lagi membawa kebahagiaan.
Dalam hal ini, Allah mengingatkan kita dalam Alqur’an, “Barangsiapa mengerjakan kebaikan walau seberat butir debu, akan dibalas kebaikan itu. Dan barangsiapa mengerjakan kejelekan walau seberat butir debu, akan dibalas pula kejelekan itu.”(QS. 99: 7-8).
Parameter itulah, yang mengajarkan kita agar tidak meremehkan terhadap hal-hal kecil. Karena hal-hal kecil yang telah kita lakukan itu akan menjadi “bahan penilaian”, baik semasa hidup di dunia dan lebih-lebih di akherat kelak.
Yang jelas, sikap melucuti dan meremehkan hal-hal kecil dengan menganggap hal-hal besar sebagai satu-satunya yang menentukan kualitas hidup manusia, adalah sesuatu yang tidak baik dan tidak bijaksana. Bukankah, sesuatu yang besar itu tidak mungkin ada, tanpa adanya hal-hal yang kecil?
Berikut ini, ada beberapa ruang lingkup yang dapat menyadarkan dan membukakan mata kewaspadaan kita terhadap pentingnya menjauhkan sikap meremehkan hal-hal kecil dalam hidup keseharian.
1. Bagaimana awal kehidupan manusia dimulai?
Pengetahuan tentang bagaimana manusia itu diciptakan, kita peroleh dari Allah sendiri, Sang Penciptanya. Yakni Allah ‘Azzawa Jalla, dalam Alqur’an mengatakan, Aku ciptakan kamu dari debu (QS. Ali’Imran:59, Al-Kahfi:38, Al-Hajj:5, Ar-Ruum:29, Al-Faathir:11, dan Al-Mu-min:67); dari tanah liat (QS. Al-An’aam:2, Al-A’raaf:11, Ash-Shaad:71,76, Al-Mu-minuun:12, Alif Laam Miim As-Sajdah:7, As-Shaffaat:11, Al-Israa’:61); dari lumpur hitam yang diberi bentuk (QS. Al-Hijr:26,28,33); dari tanah kering seperti tembikar (QS. Al-Hijr:26,28,33 dan Ar-Rahmaan:14).
Secara demikian, bukan berarti proses penciptaan manusia itu saling bertentangan tentang bahan penciptaan itu sendiri (tanah). Namun, sebenarnya Allah SWT menerangkan kepada kita adanya fase-fase dari bahan penciptaan tersebut. Dari debu menjadi tanah liat, lalu menjadi lumpur hitam, dan kemudian menjadi tanah kering. Inilah gambaran dalam proses terciptanya jasad manusia sampai menjelang ditiupkannya roh ke dalamnya. Allah berfirman, “Dan telah Aku tiup ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku.” (QS. Al-Hijr:29).
Adapun mengenai proses pembentukan janin, dalam QS. Al-Mu-minuun:13-14, diterangkan bahwa, kemudian Kami jadikan saripati itu nuthfah (yang tersimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian nutfah itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging.
Itulah fase-fase global dari sebuah janin. Sedangkan bila kita teliti lebih lanjut tentang pertumbuhan dan perkembangan sebutir zigote atau sel telur (ovum) yang telah dibuahi oleh sel sperma, hingga akhirnya tercipta dan terlahir seorang makhluk bernama manusia. Di sini, kita akan mengatakan bahwa hal-hal kecil itu akan sangat berarti bagi kehidupan di kemudian hari. Apa buktinya?
Harus kita yakini bahwa manusia itu sebenarnya tumbuh dari sebutir zigote yang amat sangat kecil, tidak nampak oleh mata telanjang, tumbuh menjadi bakal (janin) manusia yang kecil sekali, panjangnya tidak lebih dari seperempat inci. Kemudian volumenya bertambah sampai 50 kalinya, sedang bobotnya sampai 8000 kalinya.
Dari sebutir zigote itu, lalu berubah menjadi makhluk yang ada kepalanya, ada tubuhnya dan ekornya. Pada saat ini, sudah ada jantung sederhana yang berdenyut dan darah yang beredar terus-menerus. Ada juga tanda-tanda pertama bakal adanya tangan, kaki, mata, telinga, perut maupun otak. Dan kenyataannya, selama 30 hari dari kehidupan manusia yang pertama itu, Pada umumnya telah mulai terbentuk secara sangat sederhana setiap anggota tubuh yang akan melayani kita dalam kehidupan baru kelak. Begitu pula halnya dengan beberapa anggota tubuh yang belum nampak kelihatan sebelum lahir.
Perkembangan zigote tersebut setelah mendapat sedikit kesuburan, membagi dirinya menjadi dua sel, dan dari dua sel itu terbagi lagi menjadi empat, dan seterusnya sampai menjadi berjuta sel yang membentuk tubuh manusia. Sehingga kalau kita runtut dapat disebutkan bahwa pada bulan kedua dari kehidupan manusia dalam rahim, berakhir dengan lebih miripnya janin dengan bentuk manusia dewasa.
Pada bulan ketiga, mulai jelas perbedaan antara kelelakian yang kelihatan lebih menonjol, daripada kewanitaan yang tetap tersembunyi. Selanjutnya, pertumbuhan janin paling pesat terjadi pada bulan-bulan ketiga dan keempat. Di bulan kelima, bagian dari kulit ikut berkembang, yaitu rambut halus yang kini menutupi kepala. Lalu kuku mulai nampak pada jari-jari tangan dan kaki. Dan terbentuknya juga dentin, yaitu lapisan yang menutupi gigi susu.
Selama bulan keenam ini kelopak mata janin terbuka lagi, yang sejak bulan ketiga tertutup rapat. Pembentukan kedua mata pada saat ini telah lengkap, namun baru bisa merasakan cahaya nanti pada bulan ketujuh. Dan pada bulan ketujuh ini, ada beberapa daerah dalam otak yang tumbuh seperti otak kecil, yaitu kelanjutan dari otak besar yang berhubungan dengan serabut-serabut yang datang dari telinga. Di samping itu, terjadi juga kesempurnaan perkakas saraf. Kemudian pada bulan kedelapan dan kesembilan ini mulai terlihat keindahan rupa, serta menunggu masa-masa kelahiran bayi.
Dengan memakni proses awal kehidupan manusia tersebut, masihkah kita akan meremehkan hal-hal kecil dari perikehidupan manusia? Padahal, bukankah dirinya sendiri terbentuk melalui proses-proses kecil yang tidak terjangkau manusia.
2. Bagaimana sebuah kesuksesan besar terbentuk?
Kesuksesan seseorang itu terbentuk tidak hanya dengan cara berdiam diri dan berkeluh kesah. Kesuksesan hari esok tak hanya diatur melalui teori. Apalagi hanya dengan ayal. Tepatnya, keinginan itu harus dibarengi dengan kesungguhan kerja dan luasnya ilmu. Dan yang lebih penting lagi, jangan terbesit sedikit pun dalam pikiran dan perilaku kita mengabaikan usaha yang telah dilakukan sebelumnya, biar pun usaha itu kecil dan sekilas tidak punya arti apa-apa.
Yeng terakhir itu, harus kita camkan. Karena kita sadar betul, bahwa kesuksesan itu terbentuk dari usaha yang kontiyu dan simultan. Ia dibangun oleh tangga-tangga kecil kesuksesan. Di sini, kuncinya berawal dari pola pikir kesuksesan.
Mereka yang berpola pikir sukses ---bagaimana berbuat lebih baik lagi---, akan memandang peluang sebagai “barang berharga”, pesaing sebagai motivator, dan kegagalan dijadikan sebagai batu pijakan untuk berbuat lebih baik di masa mendatang. Contoh yang sederhana dan sering kita lihat berkait menggapai kesuksesan adalah bagaimana seseorang anak yang berambisi untuk bisa berjalan. Baginya bisa berjalan adalah kesuksesan. Tidak peduli berapa kali ia terjatuh, berapa batu yang pernah melukainya, berapa orang mentertawakannya, dan tak peduli berapa lama ia meraihnya. Yang jelas, ia dapat meraih sukses berjalan.
Orang sukses adalah mereka yang berkemampuan merakit setiap hal-hal kecil sebagai tangga meraih kesuksesannya yang lebih besar. Dengan kata lain, orang sukses bukanlah orang yang tidak pernah gagal, melainkan orang yang terus mencoba bangkit dari kegagalan hingga sukses menjadi bagian dari hidupnya. Guru kita, Aa Gym sering mengatakan nikmatilah setiap proses yang kita lakukan. Yang jelas, luruskan niat dan sempurnakan ikhtiar, insya Allah kita merasakan nikmatnya perjalanan sukses itu.
Berkait dengan kesuksesan ini, Thomas Alva Edison mengatakan, “Genius itu 1% inspirasi, dan 99% cucuran keringat.” Artinya tanpa adanya hal kecil (1% inspirasi), maka kita tidak dapat mencapai genius (baca: sukses). Dan inspirasi itu datangnya dari Allah yang hinggap dalam pikiran kita. Dalam hal ini, Arda Dinata (1998), dalam salah satu tulisannya mengungkapkan bahwa, “Formula kesuksesan seseorang dibentuk oleh kerja pikir (Kp), kerja hati (Kh), kerja fisik (Kf), doa dan faktor X (keberkahan).”
Kerja pikir merupakan modal awal kesuksesan seseorang. Setiap manusia pada dasarnya berpontensi untuk sukses. Tapi, hanya mereka yang berpikir (sukses) yang dapat menguasai hidup dan mencapai kesuksesan. Hal ini didasarkan akan nikmat ‘otak’ yang diberikan Penguasa Hidup, hanya kepada manusia. Tentu, manusia yang mampu menggunakan pikirnya dalam membaca hidup ini, baik yang tersurat maupun tersirat, maka ia akan selalu berusaha bersikap positif terhadap sesuatu yang terjadi pada dirinya (baca: walau hal-hal kecil). Langkah hidupnya selalu didasarkan pada pola pikir yang terbentuk dari pembacaan dan perenungan hatinya.
Dari perpaduan kerja pikir yang telah dikonsultasikan melalui (kerja) hati, maka selanjutnya di aktualisasikan melalui kerja fisik. Setelah ketiga usaha yang dapat dilakukan manusia (ikhtiar) itu dimaksimalkan, ada formula kesuksesan lain yang perlu dilakukannya yaitu berdoa.
Doa merupakan tali penghubung usaha maksimal manusia dengan dunia maya kesuksesan. Dengan berdoa kepada Sang Penguasa kesuksesan itu sendiri, diharapkan ada faktor X ---keberkahan--- yang meridhoi dan mewujudkannya.
3. Bagaimana amalan kecil memiliki penghargaan tinggi?
Berbahagia dan sangat beruntung bagi orang-orang yang dalam hidupnya selalu diselimuti perilaku amal saleh. Amal saleh tidak lain merupakan buah dari iman ---cerminan iman---. Tepatnya, amal saleh adalah pelaksanaan totalitas perintah Allah dan penghindaran terhadap segala larangan-Nya. Lebih dari itu, yang terpenting amal saleh ini merupakan bekal yang paling baik untuk dibawa ke alam akherat yang kekal nanti, setelah kehidupan dunia.
Adapun yang termasuk amal saleh, dalam sebuah hadist disebutkan diantaranya berupa mendamaikan dua orang yang berselisih secara adil; membantu seseorang untuk menaiki hewan tunggangannya atau memuat barang-barangnya ke atas hewan tersebut; ucapan yang baik; menyingkirkan rintangan di jalan; tersenyum kepada sesama; dan berhubungan intim dengan istri/suami.
Berkait amal perbuatan manusia itu, Allah melihat bukan hanya besar atau kecilnya semata-mata, tetapi yang penting adalah niat dan keikhlasan hati kita. Artinya amalan hati, menurut Islam lebih utama daripada amalan yang bersifat fisik. Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh dan bentuk tubuh kamu, tetapi Dia melihat hati dan amalmu.” (HR. Muslim).
Nabi Saw bersabda, “Allah tidak menerima amalan, melainkan amalan yang ikhlas dan yang karena untuk mencari keridhoan-Nya.” (HR. Ibnu Majah).
Sementara itu, Allah berfirman, “Dan janganlah aku dihinakan pada hari berbangkit (kiamat). Pada hari yang tidak bermanfaat harta benda dan tidak pula anak-anak. Kecuali orang yang datang ke hadirat Allah dengan hati yang suci.” (QS. Asy-Syu’ara: 87-89).
Secara demikian, keselamatan seseorang dari kehinaan pada hari kiamat, hanya diberikan kepada orang yang datang kepada-Nya, dengan hati yang baik lagi penuh keikhlasan.
Untuk itu, ikhlas merupakan amalan hati yang sangat penting untuk dimiliki setiap Muslim. Ia sebagai motivator, penggerak amal dalam meraih cita-cita dan tujuan yang diridhoi Allah SWT. Ia pun sebagai katalisator, pemurni amal pada anggota tubuh dalam beribadah kepada-Nya, berhubungan dengan sesama dan lingkungannya (Abdul Aziz Ad Barbasyi; 1997).
Dalam konteks ini, jelas-jelas bahwa amalan kecil yang ikhlas memiliki penghargaan tinggi dihadapan Allah, daripada amalan besar tapi diselimuti sifat riya.
Rasulullah Saw mengingatkan kita tentang bahayanya sifat riya yang bisa menyebabkan amalan akan ditolak. Sabdanya, “Saya khawatir apa yang saya takutkan akan syirik kecil menimpa atas diri kalian.” Mereka (para sahabat) bertanya: “Ya, Rasulullah, apa gerangan syirik kecil itu? Jawab Rasul, “Ia adalah riya.” (Al-Hadist).
4. Bagaimana unsur kecil terbentuk?
Alam semesta itu memiliki unsur-unsur dari yang terkecil hingga yang terbesar. Para ilmuwan hingga abad ke-19 berkeyakinan bahwa atom merupakan bagian terkecil yang mungkin ada pada segala unsur materi dan tak dapat dibagi-bagi lagi. Tetapi, beberapa puluh tahun belakangan ini, hal itu telah ditentang dengan adanya penemuan baru. Yakni para ilmuwan menemukan bahwa atom itu mengandung unsur Proton, Neutron dan Elektron. Melalui pembagian ini, salah satunya mereka dapat menciptakan bom atom yang cukup membahayakan manusia bila disalahgunakan.
Untuk itu, kita hendaknya jangan menganggap sepele terhadap unsur atom yang kecil ini. Dan sesuatu walau pun kecil seperti atom, dihadapan Allah jelas-jelas tercatat lagi tidak akan terlewatkan. Allah berfirman, “…. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi maupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan semua tercatat dalam kitab yang nyata (Lauhul mahfuzh).” (QS. 10: 61).
Dalam bahasa kimia, atom-atom yang ada di alam itu dapat membentuk molekul-molekul. Artinya suatu molekul dapat terbentuk bila ada atom-atom. Di sini, terlihat jelas akan peran sebuah atom sebagai pembentuk molekul dalam alam ini. Perumpamaan ini, setidaknya telah menyadarkan bahwa kita hendaknya jangan menyepelekan hal-hal kecil dalam hidup ini.
5. Bagaimana dosa kecil bisa menjerumuskan?
Kehidupan manusia memang tidak terlepas dari lilitan dosa. Tetapi, bukan lantas kita seenaknya melakukan dosa-dosa kecil atau lebih-lebih dosa besar. Dan sulit bisa dibayangkan apa yang terjadi, jika predikat ‘dosa’ dihapuskan dari peradaban manusia. Hasilnya, kehidupan akan kacau balau, karena dengan nafsunya setiap orang merasa bebas berbuat apa saja.
Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-An’am: 179).
Dalam Islam, seseorang dikatakan berdosa, jika orang itu melanggar larangan syariatnya. Nabi Muhammad Saw mendefinisikan dosa dengan, “Apa yang mengganjal dalam hatimu, dan engkau takut kalau hal itu diketahui orang lain.” (HR. Iman Muslim).
Secara demikian, pada koridor itulah kita dapat memposisikan perbuatan manusia itu, termasuk dosa atau tidak. Sayangnya, banyak manusia yang kurang memaknai sebuah dosa. Sehingga banyak hal-hal kecil perbuatan manusia yang diabaikan, padahal perilaku itu telah melanggar syariat Islam. Berikut ini kisah yang pernah ditulis H. Usep Romli, H.M, tentang sebutir kurma penjegal doa.
Usai menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham berniat ziarah ke Masjidil Aqsa. Untuk bekal diperjalanan, ia membeli 1 kg kurma dari pedagang tua di dekat Masjidil Haram.
Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak di dekat timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungutnya, lalu memakannya. Setelah itu langsung berangkat menuju Al Aqsa.
Empat bulan kemudian, Ibrahim tiba ke Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih tempat beribadah pada sebuah ruangan di bawah Kubah Sakhra. Ia salat dan berdoa khusyuk sekali.
Tiba-tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya.
“Itu Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan Allah SWT,” kata Malaikat yang satu.
“Tapi sekarang tidak lagi. Doanya ditolak karena 4 bulan yang lalu ia memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat Masjidil Haram, “ jawab Malaikat yang satu lagi.
Ibrahim bin Adham terkejut sekali. Ia terenyak. Jadi, selama 4 bulan ini ibadahnya, salatnya, doanya tidak diterima oleh Allah SWT gara-gara memakan sebutir kurma yang bukan haknya.
“Astagfirullahal Adzim,” Ibrahim beristighfar. Ia segera berkemas. Berangkat lagi ke Mekah untuk menemui pedagang tua penjual kurma. Untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya.
Singkat cerita, ternyata pedagang tua itu sudah meninggal dunia. Dengan begitu Ibrahim meminta penghalalan itu terhadap para ahli warisnya yang berjumlah 12 orang (jumlah ini diketahui dari ahli waris yang berjualan kurma menggantikan ayahnya).
Akhirnya, semua ahli waris setuju menghalalkan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh Ibrahim.
Empat bulan kemudian, Ibrahim bin Adham sudah berada lagi di ruang bawah Kubah Sakhra. Tiba-tiba dua Malaikat yang dulu, terdengar lagi bercakap-cakap.
“Itulah Ibrahim bin Adham yang doanya tertolak gara-gara memakan sebutir kurma milik orang lain.”
“O, tidak. Sekarang doanya sudah makbul lagi. Ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas.”
Perilaku mengabaikan dosa seperti itulah, yang akan memberatkan posisi dirinya dihadapan Allah. Semoga kita merasa yakin dan tidak menyepelekan akan dosa yang telah kita perbuat, walau hanya sebesar biji kurma seperti kisah di atas.
6. Bagaimana makhluk kecil begitu menggemparkan?
Allah menciptakan dunia seisinya semata-mata untuk beribadah terhadap-Nya. Adapun makhluk hidup yang diciptakan Allah tersebut, ada yang dapat dilihat dengan kasad mata, ada juga yang baru terlihat melalui bantuan mikroskop. Dalam arti lain, makhluk hidup itu, ada yang ukuranya paling kecil sampai yang terbesar.
Allah berfirman, “Dan Dia (Allah) telah menjadikan segala sesuatu, kemudian Dia tentukan pula ukurannya masing-masing.” (QS. Al-Furqan: 2).
Selain itu, Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna dibandingkan dengan lainnya. Walau demikian, bukan berarti kita dapat berlaku sombong terhadap makhluk yang lebih kecil dari kita. Dalam dunia kesehatan kita mengenal makhluk hidup yang ukurannya sangat kecil, misalnya golongan virus, bakteri, protozoa dan metazoa.
Larangan sifat sombong terhadap makhluk kecil itu, tentu bukan tanpa alasan. Karena betapa manusia itu tidak berdaya, bila golongan virus, bakteri, protozoa dan metazoa menyebarkan penyakitnya pada manusia. Apa buktinya?
Beberapa waktu lalu, betapa dunia digemparkan oleh aktivitas penyakit antraks. Antraks adalah penyakit infeksi yang bersifat akut bersumber dari bakteri bacillus anthracis yang menyerang hewan mamalia, namun lebih berbahaya lagi karena penyakit ini dapat juga menyerang manusia.
Penyerangan kepada manusia biasanya terjadi melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi atau melalui penularan lewat udara (pernapasan) yang mengandung spora bakteri tersebut. Sejak ditemukan pertama kali oleh Robert Koch (1876) dan selanjutnya oleh Louis Pasteur, bakteri ini dinyatakan sebagai penyebab penyakit antraks pada ternak dan telah banyak menyebabkan kematian baik hewan ternak maupun manusia.
Lebih dari itu, bacillus anthracis adalah jenis bakteri yang banyak dipilih sebagai salah satu agen senjata biologis karena bersifat sangat mematikan. Sebagai senjata yang sangat mematikan, antraks diduga banyak dikembangkan oleh sekelompok orang, organisasi atau negara untuk melakukan aksi kriminalitas, teror dan sabotase, bahkan untuk perang terbuka (Priyono Wahyudi, M.Si).
Secara demikian, layakkah kita meremehkan makhluk kecil (semacam bacillus anthracis) yang dapat menggemparkan kehidupan manusia tersebut?
7. Bagaimana sebuah perubahan dimulai dari hal-hal kecil?
Islam itu datang untuk memperbaiki keadaan dunia dari kehancuran dan membawa manusia kepada kebenaran dan kebahagiaan yang hakiki. Alqur’an dan sunah Rasul sebagai tuntunan hidup, amat sesuai dengan naluri dan nilai-nilai insan. Tepatnya, kedatangan Islam merupakan pembaharu dunia, dari gelap kepada terang, dari batil kepada yang hak.
Perbaharuan itu dapat terbentuk melalui tahap-tahap tertentu, bukan dengan sekali jadi. Karena tanpa hal-hal kecil, maka bukan merupakan suatu perubahan melainkan revolusi. Arti lainnya, jika kita ingin merubah nasib bangsa Indonesia agar lebih baik dari sekarang, maka hendaknya kita memperhatikan pembentukan individunya sebelum masyarakatnya. Rubahlah hal-hal kecil terlebih dahulu, sebelum kita rubah yang lebih besar.
Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”(QS. Ar-Ra’d: 11).
Pola seperti itulah, yang saat ini coba diaktualisasikan oleh Aa Gym dalam memberdayakan umat menuju perubahan akhlak yang mulya. Konsep merubah diri ini dikenal dengan 3 M. Yaitu memulai dari diri sendiri dalam hal-hal kecil, melakukan terus/melatih diri, dan mulailah sekarang/melaksanakan langsung.
Akhirnya, di sinilah perlunya kita memaknai hidup secara benar. Muhammad Abduh mengatakan, “Hidup itu bukanlah hanya sekedar memasukkan dan mengeluarkan nafas saja, akan tetapi sesungguhnya hidup itu adalah aqidah dan jihad.” Ringkasnya, hidup ini harus membawa arti dan makna.
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Siapa hidupnya lebih baik daripada hari kemarin, bahagialah ia. Siapa hidupnya sama keadaannya dengan hari kemarin, rugilah ia. Siapa hidupnya lebih jelek daripada hari kemarin, celakalah ia.” (HR. Al-Hakim). Waallahu’alam.**
Meremehkan berarti memandang remeh (tidak penting, kecil, dsb); menghinakan; mengabaikan. Untuk itu, jangan anggap remeh terhadap hal-hal kecil yang kita perbuat di dunia. kita harus selalu berhati-hati tentang niat, ucapan dan perilaku. Bukan hanya menyangkut eksistensi harga diri sesama manusia, tapi lebih dari itu kita harus mempertanggung jawabkan di hadapan Allah Ta’ala.
Artinya, jika hal-hal kecil yang diremehkan itu adalah sesuatu yang melanggar ketentuan-Nya bisa berakibat celaka di dunia dan akherat. Sebaliknya, sangat disayangkan bila hal-hal kecil yang kita remehkan itu merupakan sesuatu yang bernilai taqwa dan bermutu amal saleh lagi membawa kebahagiaan.
Dalam hal ini, Allah mengingatkan kita dalam Alqur’an, “Barangsiapa mengerjakan kebaikan walau seberat butir debu, akan dibalas kebaikan itu. Dan barangsiapa mengerjakan kejelekan walau seberat butir debu, akan dibalas pula kejelekan itu.”(QS. 99: 7-8).
Parameter itulah, yang mengajarkan kita agar tidak meremehkan terhadap hal-hal kecil. Karena hal-hal kecil yang telah kita lakukan itu akan menjadi “bahan penilaian”, baik semasa hidup di dunia dan lebih-lebih di akherat kelak.
Yang jelas, sikap melucuti dan meremehkan hal-hal kecil dengan menganggap hal-hal besar sebagai satu-satunya yang menentukan kualitas hidup manusia, adalah sesuatu yang tidak baik dan tidak bijaksana. Bukankah, sesuatu yang besar itu tidak mungkin ada, tanpa adanya hal-hal yang kecil?
Berikut ini, ada beberapa ruang lingkup yang dapat menyadarkan dan membukakan mata kewaspadaan kita terhadap pentingnya menjauhkan sikap meremehkan hal-hal kecil dalam hidup keseharian.
1. Bagaimana awal kehidupan manusia dimulai?
Pengetahuan tentang bagaimana manusia itu diciptakan, kita peroleh dari Allah sendiri, Sang Penciptanya. Yakni Allah ‘Azzawa Jalla, dalam Alqur’an mengatakan, Aku ciptakan kamu dari debu (QS. Ali’Imran:59, Al-Kahfi:38, Al-Hajj:5, Ar-Ruum:29, Al-Faathir:11, dan Al-Mu-min:67); dari tanah liat (QS. Al-An’aam:2, Al-A’raaf:11, Ash-Shaad:71,76, Al-Mu-minuun:12, Alif Laam Miim As-Sajdah:7, As-Shaffaat:11, Al-Israa’:61); dari lumpur hitam yang diberi bentuk (QS. Al-Hijr:26,28,33); dari tanah kering seperti tembikar (QS. Al-Hijr:26,28,33 dan Ar-Rahmaan:14).
Secara demikian, bukan berarti proses penciptaan manusia itu saling bertentangan tentang bahan penciptaan itu sendiri (tanah). Namun, sebenarnya Allah SWT menerangkan kepada kita adanya fase-fase dari bahan penciptaan tersebut. Dari debu menjadi tanah liat, lalu menjadi lumpur hitam, dan kemudian menjadi tanah kering. Inilah gambaran dalam proses terciptanya jasad manusia sampai menjelang ditiupkannya roh ke dalamnya. Allah berfirman, “Dan telah Aku tiup ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku.” (QS. Al-Hijr:29).
Adapun mengenai proses pembentukan janin, dalam QS. Al-Mu-minuun:13-14, diterangkan bahwa, kemudian Kami jadikan saripati itu nuthfah (yang tersimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian nutfah itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging.
Itulah fase-fase global dari sebuah janin. Sedangkan bila kita teliti lebih lanjut tentang pertumbuhan dan perkembangan sebutir zigote atau sel telur (ovum) yang telah dibuahi oleh sel sperma, hingga akhirnya tercipta dan terlahir seorang makhluk bernama manusia. Di sini, kita akan mengatakan bahwa hal-hal kecil itu akan sangat berarti bagi kehidupan di kemudian hari. Apa buktinya?
Harus kita yakini bahwa manusia itu sebenarnya tumbuh dari sebutir zigote yang amat sangat kecil, tidak nampak oleh mata telanjang, tumbuh menjadi bakal (janin) manusia yang kecil sekali, panjangnya tidak lebih dari seperempat inci. Kemudian volumenya bertambah sampai 50 kalinya, sedang bobotnya sampai 8000 kalinya.
Dari sebutir zigote itu, lalu berubah menjadi makhluk yang ada kepalanya, ada tubuhnya dan ekornya. Pada saat ini, sudah ada jantung sederhana yang berdenyut dan darah yang beredar terus-menerus. Ada juga tanda-tanda pertama bakal adanya tangan, kaki, mata, telinga, perut maupun otak. Dan kenyataannya, selama 30 hari dari kehidupan manusia yang pertama itu, Pada umumnya telah mulai terbentuk secara sangat sederhana setiap anggota tubuh yang akan melayani kita dalam kehidupan baru kelak. Begitu pula halnya dengan beberapa anggota tubuh yang belum nampak kelihatan sebelum lahir.
Perkembangan zigote tersebut setelah mendapat sedikit kesuburan, membagi dirinya menjadi dua sel, dan dari dua sel itu terbagi lagi menjadi empat, dan seterusnya sampai menjadi berjuta sel yang membentuk tubuh manusia. Sehingga kalau kita runtut dapat disebutkan bahwa pada bulan kedua dari kehidupan manusia dalam rahim, berakhir dengan lebih miripnya janin dengan bentuk manusia dewasa.
Pada bulan ketiga, mulai jelas perbedaan antara kelelakian yang kelihatan lebih menonjol, daripada kewanitaan yang tetap tersembunyi. Selanjutnya, pertumbuhan janin paling pesat terjadi pada bulan-bulan ketiga dan keempat. Di bulan kelima, bagian dari kulit ikut berkembang, yaitu rambut halus yang kini menutupi kepala. Lalu kuku mulai nampak pada jari-jari tangan dan kaki. Dan terbentuknya juga dentin, yaitu lapisan yang menutupi gigi susu.
Selama bulan keenam ini kelopak mata janin terbuka lagi, yang sejak bulan ketiga tertutup rapat. Pembentukan kedua mata pada saat ini telah lengkap, namun baru bisa merasakan cahaya nanti pada bulan ketujuh. Dan pada bulan ketujuh ini, ada beberapa daerah dalam otak yang tumbuh seperti otak kecil, yaitu kelanjutan dari otak besar yang berhubungan dengan serabut-serabut yang datang dari telinga. Di samping itu, terjadi juga kesempurnaan perkakas saraf. Kemudian pada bulan kedelapan dan kesembilan ini mulai terlihat keindahan rupa, serta menunggu masa-masa kelahiran bayi.
Dengan memakni proses awal kehidupan manusia tersebut, masihkah kita akan meremehkan hal-hal kecil dari perikehidupan manusia? Padahal, bukankah dirinya sendiri terbentuk melalui proses-proses kecil yang tidak terjangkau manusia.
2. Bagaimana sebuah kesuksesan besar terbentuk?
Kesuksesan seseorang itu terbentuk tidak hanya dengan cara berdiam diri dan berkeluh kesah. Kesuksesan hari esok tak hanya diatur melalui teori. Apalagi hanya dengan ayal. Tepatnya, keinginan itu harus dibarengi dengan kesungguhan kerja dan luasnya ilmu. Dan yang lebih penting lagi, jangan terbesit sedikit pun dalam pikiran dan perilaku kita mengabaikan usaha yang telah dilakukan sebelumnya, biar pun usaha itu kecil dan sekilas tidak punya arti apa-apa.
Yeng terakhir itu, harus kita camkan. Karena kita sadar betul, bahwa kesuksesan itu terbentuk dari usaha yang kontiyu dan simultan. Ia dibangun oleh tangga-tangga kecil kesuksesan. Di sini, kuncinya berawal dari pola pikir kesuksesan.
Mereka yang berpola pikir sukses ---bagaimana berbuat lebih baik lagi---, akan memandang peluang sebagai “barang berharga”, pesaing sebagai motivator, dan kegagalan dijadikan sebagai batu pijakan untuk berbuat lebih baik di masa mendatang. Contoh yang sederhana dan sering kita lihat berkait menggapai kesuksesan adalah bagaimana seseorang anak yang berambisi untuk bisa berjalan. Baginya bisa berjalan adalah kesuksesan. Tidak peduli berapa kali ia terjatuh, berapa batu yang pernah melukainya, berapa orang mentertawakannya, dan tak peduli berapa lama ia meraihnya. Yang jelas, ia dapat meraih sukses berjalan.
Orang sukses adalah mereka yang berkemampuan merakit setiap hal-hal kecil sebagai tangga meraih kesuksesannya yang lebih besar. Dengan kata lain, orang sukses bukanlah orang yang tidak pernah gagal, melainkan orang yang terus mencoba bangkit dari kegagalan hingga sukses menjadi bagian dari hidupnya. Guru kita, Aa Gym sering mengatakan nikmatilah setiap proses yang kita lakukan. Yang jelas, luruskan niat dan sempurnakan ikhtiar, insya Allah kita merasakan nikmatnya perjalanan sukses itu.
Berkait dengan kesuksesan ini, Thomas Alva Edison mengatakan, “Genius itu 1% inspirasi, dan 99% cucuran keringat.” Artinya tanpa adanya hal kecil (1% inspirasi), maka kita tidak dapat mencapai genius (baca: sukses). Dan inspirasi itu datangnya dari Allah yang hinggap dalam pikiran kita. Dalam hal ini, Arda Dinata (1998), dalam salah satu tulisannya mengungkapkan bahwa, “Formula kesuksesan seseorang dibentuk oleh kerja pikir (Kp), kerja hati (Kh), kerja fisik (Kf), doa dan faktor X (keberkahan).”
Kerja pikir merupakan modal awal kesuksesan seseorang. Setiap manusia pada dasarnya berpontensi untuk sukses. Tapi, hanya mereka yang berpikir (sukses) yang dapat menguasai hidup dan mencapai kesuksesan. Hal ini didasarkan akan nikmat ‘otak’ yang diberikan Penguasa Hidup, hanya kepada manusia. Tentu, manusia yang mampu menggunakan pikirnya dalam membaca hidup ini, baik yang tersurat maupun tersirat, maka ia akan selalu berusaha bersikap positif terhadap sesuatu yang terjadi pada dirinya (baca: walau hal-hal kecil). Langkah hidupnya selalu didasarkan pada pola pikir yang terbentuk dari pembacaan dan perenungan hatinya.
Dari perpaduan kerja pikir yang telah dikonsultasikan melalui (kerja) hati, maka selanjutnya di aktualisasikan melalui kerja fisik. Setelah ketiga usaha yang dapat dilakukan manusia (ikhtiar) itu dimaksimalkan, ada formula kesuksesan lain yang perlu dilakukannya yaitu berdoa.
Doa merupakan tali penghubung usaha maksimal manusia dengan dunia maya kesuksesan. Dengan berdoa kepada Sang Penguasa kesuksesan itu sendiri, diharapkan ada faktor X ---keberkahan--- yang meridhoi dan mewujudkannya.
3. Bagaimana amalan kecil memiliki penghargaan tinggi?
Berbahagia dan sangat beruntung bagi orang-orang yang dalam hidupnya selalu diselimuti perilaku amal saleh. Amal saleh tidak lain merupakan buah dari iman ---cerminan iman---. Tepatnya, amal saleh adalah pelaksanaan totalitas perintah Allah dan penghindaran terhadap segala larangan-Nya. Lebih dari itu, yang terpenting amal saleh ini merupakan bekal yang paling baik untuk dibawa ke alam akherat yang kekal nanti, setelah kehidupan dunia.
Adapun yang termasuk amal saleh, dalam sebuah hadist disebutkan diantaranya berupa mendamaikan dua orang yang berselisih secara adil; membantu seseorang untuk menaiki hewan tunggangannya atau memuat barang-barangnya ke atas hewan tersebut; ucapan yang baik; menyingkirkan rintangan di jalan; tersenyum kepada sesama; dan berhubungan intim dengan istri/suami.
Berkait amal perbuatan manusia itu, Allah melihat bukan hanya besar atau kecilnya semata-mata, tetapi yang penting adalah niat dan keikhlasan hati kita. Artinya amalan hati, menurut Islam lebih utama daripada amalan yang bersifat fisik. Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh dan bentuk tubuh kamu, tetapi Dia melihat hati dan amalmu.” (HR. Muslim).
Nabi Saw bersabda, “Allah tidak menerima amalan, melainkan amalan yang ikhlas dan yang karena untuk mencari keridhoan-Nya.” (HR. Ibnu Majah).
Sementara itu, Allah berfirman, “Dan janganlah aku dihinakan pada hari berbangkit (kiamat). Pada hari yang tidak bermanfaat harta benda dan tidak pula anak-anak. Kecuali orang yang datang ke hadirat Allah dengan hati yang suci.” (QS. Asy-Syu’ara: 87-89).
Secara demikian, keselamatan seseorang dari kehinaan pada hari kiamat, hanya diberikan kepada orang yang datang kepada-Nya, dengan hati yang baik lagi penuh keikhlasan.
Untuk itu, ikhlas merupakan amalan hati yang sangat penting untuk dimiliki setiap Muslim. Ia sebagai motivator, penggerak amal dalam meraih cita-cita dan tujuan yang diridhoi Allah SWT. Ia pun sebagai katalisator, pemurni amal pada anggota tubuh dalam beribadah kepada-Nya, berhubungan dengan sesama dan lingkungannya (Abdul Aziz Ad Barbasyi; 1997).
Dalam konteks ini, jelas-jelas bahwa amalan kecil yang ikhlas memiliki penghargaan tinggi dihadapan Allah, daripada amalan besar tapi diselimuti sifat riya.
Rasulullah Saw mengingatkan kita tentang bahayanya sifat riya yang bisa menyebabkan amalan akan ditolak. Sabdanya, “Saya khawatir apa yang saya takutkan akan syirik kecil menimpa atas diri kalian.” Mereka (para sahabat) bertanya: “Ya, Rasulullah, apa gerangan syirik kecil itu? Jawab Rasul, “Ia adalah riya.” (Al-Hadist).
4. Bagaimana unsur kecil terbentuk?
Alam semesta itu memiliki unsur-unsur dari yang terkecil hingga yang terbesar. Para ilmuwan hingga abad ke-19 berkeyakinan bahwa atom merupakan bagian terkecil yang mungkin ada pada segala unsur materi dan tak dapat dibagi-bagi lagi. Tetapi, beberapa puluh tahun belakangan ini, hal itu telah ditentang dengan adanya penemuan baru. Yakni para ilmuwan menemukan bahwa atom itu mengandung unsur Proton, Neutron dan Elektron. Melalui pembagian ini, salah satunya mereka dapat menciptakan bom atom yang cukup membahayakan manusia bila disalahgunakan.
Untuk itu, kita hendaknya jangan menganggap sepele terhadap unsur atom yang kecil ini. Dan sesuatu walau pun kecil seperti atom, dihadapan Allah jelas-jelas tercatat lagi tidak akan terlewatkan. Allah berfirman, “…. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi maupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan semua tercatat dalam kitab yang nyata (Lauhul mahfuzh).” (QS. 10: 61).
Dalam bahasa kimia, atom-atom yang ada di alam itu dapat membentuk molekul-molekul. Artinya suatu molekul dapat terbentuk bila ada atom-atom. Di sini, terlihat jelas akan peran sebuah atom sebagai pembentuk molekul dalam alam ini. Perumpamaan ini, setidaknya telah menyadarkan bahwa kita hendaknya jangan menyepelekan hal-hal kecil dalam hidup ini.
5. Bagaimana dosa kecil bisa menjerumuskan?
Kehidupan manusia memang tidak terlepas dari lilitan dosa. Tetapi, bukan lantas kita seenaknya melakukan dosa-dosa kecil atau lebih-lebih dosa besar. Dan sulit bisa dibayangkan apa yang terjadi, jika predikat ‘dosa’ dihapuskan dari peradaban manusia. Hasilnya, kehidupan akan kacau balau, karena dengan nafsunya setiap orang merasa bebas berbuat apa saja.
Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-An’am: 179).
Dalam Islam, seseorang dikatakan berdosa, jika orang itu melanggar larangan syariatnya. Nabi Muhammad Saw mendefinisikan dosa dengan, “Apa yang mengganjal dalam hatimu, dan engkau takut kalau hal itu diketahui orang lain.” (HR. Iman Muslim).
Secara demikian, pada koridor itulah kita dapat memposisikan perbuatan manusia itu, termasuk dosa atau tidak. Sayangnya, banyak manusia yang kurang memaknai sebuah dosa. Sehingga banyak hal-hal kecil perbuatan manusia yang diabaikan, padahal perilaku itu telah melanggar syariat Islam. Berikut ini kisah yang pernah ditulis H. Usep Romli, H.M, tentang sebutir kurma penjegal doa.
Usai menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham berniat ziarah ke Masjidil Aqsa. Untuk bekal diperjalanan, ia membeli 1 kg kurma dari pedagang tua di dekat Masjidil Haram.
Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma tergeletak di dekat timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim memungutnya, lalu memakannya. Setelah itu langsung berangkat menuju Al Aqsa.
Empat bulan kemudian, Ibrahim tiba ke Al Aqsa. Seperti biasa, ia suka memilih tempat beribadah pada sebuah ruangan di bawah Kubah Sakhra. Ia salat dan berdoa khusyuk sekali.
Tiba-tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya.
“Itu Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan Allah SWT,” kata Malaikat yang satu.
“Tapi sekarang tidak lagi. Doanya ditolak karena 4 bulan yang lalu ia memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat Masjidil Haram, “ jawab Malaikat yang satu lagi.
Ibrahim bin Adham terkejut sekali. Ia terenyak. Jadi, selama 4 bulan ini ibadahnya, salatnya, doanya tidak diterima oleh Allah SWT gara-gara memakan sebutir kurma yang bukan haknya.
“Astagfirullahal Adzim,” Ibrahim beristighfar. Ia segera berkemas. Berangkat lagi ke Mekah untuk menemui pedagang tua penjual kurma. Untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya.
Singkat cerita, ternyata pedagang tua itu sudah meninggal dunia. Dengan begitu Ibrahim meminta penghalalan itu terhadap para ahli warisnya yang berjumlah 12 orang (jumlah ini diketahui dari ahli waris yang berjualan kurma menggantikan ayahnya).
Akhirnya, semua ahli waris setuju menghalalkan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh Ibrahim.
Empat bulan kemudian, Ibrahim bin Adham sudah berada lagi di ruang bawah Kubah Sakhra. Tiba-tiba dua Malaikat yang dulu, terdengar lagi bercakap-cakap.
“Itulah Ibrahim bin Adham yang doanya tertolak gara-gara memakan sebutir kurma milik orang lain.”
“O, tidak. Sekarang doanya sudah makbul lagi. Ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas.”
Perilaku mengabaikan dosa seperti itulah, yang akan memberatkan posisi dirinya dihadapan Allah. Semoga kita merasa yakin dan tidak menyepelekan akan dosa yang telah kita perbuat, walau hanya sebesar biji kurma seperti kisah di atas.
6. Bagaimana makhluk kecil begitu menggemparkan?
Allah menciptakan dunia seisinya semata-mata untuk beribadah terhadap-Nya. Adapun makhluk hidup yang diciptakan Allah tersebut, ada yang dapat dilihat dengan kasad mata, ada juga yang baru terlihat melalui bantuan mikroskop. Dalam arti lain, makhluk hidup itu, ada yang ukuranya paling kecil sampai yang terbesar.
Allah berfirman, “Dan Dia (Allah) telah menjadikan segala sesuatu, kemudian Dia tentukan pula ukurannya masing-masing.” (QS. Al-Furqan: 2).
Selain itu, Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang sempurna dibandingkan dengan lainnya. Walau demikian, bukan berarti kita dapat berlaku sombong terhadap makhluk yang lebih kecil dari kita. Dalam dunia kesehatan kita mengenal makhluk hidup yang ukurannya sangat kecil, misalnya golongan virus, bakteri, protozoa dan metazoa.
Larangan sifat sombong terhadap makhluk kecil itu, tentu bukan tanpa alasan. Karena betapa manusia itu tidak berdaya, bila golongan virus, bakteri, protozoa dan metazoa menyebarkan penyakitnya pada manusia. Apa buktinya?
Beberapa waktu lalu, betapa dunia digemparkan oleh aktivitas penyakit antraks. Antraks adalah penyakit infeksi yang bersifat akut bersumber dari bakteri bacillus anthracis yang menyerang hewan mamalia, namun lebih berbahaya lagi karena penyakit ini dapat juga menyerang manusia.
Penyerangan kepada manusia biasanya terjadi melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi atau melalui penularan lewat udara (pernapasan) yang mengandung spora bakteri tersebut. Sejak ditemukan pertama kali oleh Robert Koch (1876) dan selanjutnya oleh Louis Pasteur, bakteri ini dinyatakan sebagai penyebab penyakit antraks pada ternak dan telah banyak menyebabkan kematian baik hewan ternak maupun manusia.
Lebih dari itu, bacillus anthracis adalah jenis bakteri yang banyak dipilih sebagai salah satu agen senjata biologis karena bersifat sangat mematikan. Sebagai senjata yang sangat mematikan, antraks diduga banyak dikembangkan oleh sekelompok orang, organisasi atau negara untuk melakukan aksi kriminalitas, teror dan sabotase, bahkan untuk perang terbuka (Priyono Wahyudi, M.Si).
Secara demikian, layakkah kita meremehkan makhluk kecil (semacam bacillus anthracis) yang dapat menggemparkan kehidupan manusia tersebut?
7. Bagaimana sebuah perubahan dimulai dari hal-hal kecil?
Islam itu datang untuk memperbaiki keadaan dunia dari kehancuran dan membawa manusia kepada kebenaran dan kebahagiaan yang hakiki. Alqur’an dan sunah Rasul sebagai tuntunan hidup, amat sesuai dengan naluri dan nilai-nilai insan. Tepatnya, kedatangan Islam merupakan pembaharu dunia, dari gelap kepada terang, dari batil kepada yang hak.
Perbaharuan itu dapat terbentuk melalui tahap-tahap tertentu, bukan dengan sekali jadi. Karena tanpa hal-hal kecil, maka bukan merupakan suatu perubahan melainkan revolusi. Arti lainnya, jika kita ingin merubah nasib bangsa Indonesia agar lebih baik dari sekarang, maka hendaknya kita memperhatikan pembentukan individunya sebelum masyarakatnya. Rubahlah hal-hal kecil terlebih dahulu, sebelum kita rubah yang lebih besar.
Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”(QS. Ar-Ra’d: 11).
Pola seperti itulah, yang saat ini coba diaktualisasikan oleh Aa Gym dalam memberdayakan umat menuju perubahan akhlak yang mulya. Konsep merubah diri ini dikenal dengan 3 M. Yaitu memulai dari diri sendiri dalam hal-hal kecil, melakukan terus/melatih diri, dan mulailah sekarang/melaksanakan langsung.
Akhirnya, di sinilah perlunya kita memaknai hidup secara benar. Muhammad Abduh mengatakan, “Hidup itu bukanlah hanya sekedar memasukkan dan mengeluarkan nafas saja, akan tetapi sesungguhnya hidup itu adalah aqidah dan jihad.” Ringkasnya, hidup ini harus membawa arti dan makna.
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Siapa hidupnya lebih baik daripada hari kemarin, bahagialah ia. Siapa hidupnya sama keadaannya dengan hari kemarin, rugilah ia. Siapa hidupnya lebih jelek daripada hari kemarin, celakalah ia.” (HR. Al-Hakim). Waallahu’alam.**
Oleh: Arda Dinata
Email: arda.dinata@gmail.com
Email: arda.dinata@gmail.com
Langganan:
Postingan (Atom)