Rabu, 22 Juni 2011

Suamiku Poligami

Oleh Ummu Mufais
Poligami .. ooh .. poligami, kata itu terdengar tidak asing lagi. Namun, bagi yang belum siap di poligami jadi membuat merah telinganya. Mengapa demikian? Karena kebanyakan para suami yang sudah kebelet ingin poligami, tidak memperhatikan rambu-rambu yang baik dalam rumah tangga. Kadang sering berperilaku aneh, dan curang, bahkan berani berbohong.
Hari itu ada cerita yang membuat sedih hati, miris mendengarnya, malah kadang seperti mimpi di siang bolong. Teman saya yang sudah belasan tahun menikah dan punya anak yang sudah besar-besar, hendak menuntut cerai suaminya, karena dia merasa tidak di hargai keberadaannya, ketika dia mengetahui suaminya sudah menikah lagi, bahkan kebohongan suaminya itu sudah satu tahun lamanya.
Apa gerangan yang terjadi dengan poligami? Mengapa orang-orang sholeh yang menjadi panutan, justru malah mencoreng dirinya dengan perbuatan yang kurang baik? Mereka mengorbankan rumah tangga mereka demi mengejar ambisi yang belum tentu sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW. Poligami itu sunnah-kan bukan wajib?
Wajib mana antara poligami dengan menjaga ketentraman rumah tangga?
Bila poligami dikerjakan, rumah tangga yang dibina belasan tahun bahkan puluhan tahun, jadi hancur berantakan.
Namun bila tidak berpoligami alias menahan nafsu dari keinginan itu, rumah tangga di jaga dengan baik, dakwah lancar dan pikiran tenang.
Sudah banyak contohnya, apa lagi yang belum lama terjadi, da´i kondang yang menjadi panutan masyarakat, dengan keluarganya yang sakinah, karena terbawa ambisi dengan poligami. Namun beliau 'belum mampu' untuk melaksanakannya dengan baik, maka rumah tangganya jadi 'berantakan', dan beliau harus berpisah dengan istri pertamanya.
Sekarang mana yang lebih baik. Poligami atau menjaga keutuhan rumah tangga?
Jangan salahkan poligami-nya, tapi salahkan pelakunya yang belum siap, tapi memaksakan diri.
Saya rasa bukan begini yang diinginkan oleh Rasulullah SAW, Rasulullah SAW pun akan sedih bila mengetahui hal ini, gara-gara ingin mengikuti sunnah, hancur semua yang sudah dibina belasan tahun, hancur sudah sang penerus dakwah ini, dan perceraian yang dibenci oleh Allah SWT, menjadi halal, walaupun dalam hadist Rasulullah SAW bersabda :
Dari Umar, ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Sesuatu yang halal tapi dibenci Allah adalah perceraian.”(HR. Abu Daud dan Hakim)
Halal bukan berarti dibolehkan begitu saja dikerjakan, halal dengan kata lain, bila rumah tangga yang dibina selalu dalam pertengkaran dan sudah banyak mudhorot-nya, maka jalan cerai itu menjadi halal dan dibenarkan. Allah pun tidak suka melihat seorang hamba-Nya teraniaya.

Misalkan teraniaya hatinya, sedih yang berkepanjangan, stres dan bahkan sampai sakit yang berlebihan menimpa si istri yang memang belum siap di-poligami, maka hal itu di bolehkan, untuk menyelamatkan seorang ibu, yang harus terus mendidik anak-anaknya.
Mungkin dengan bercerai maka si istri bisa berkonsentrasi dengan satu hal saja, yaitu mendidik anak-anak lebih baik lagi, sebagai penerus dakwah, dan tidak lagi memikirkan sakit hatinya yang telah diduakan dan 'merasa tidak dihargai' oleh suaminya.
Mengapa kini poligami menjadi terdengar mengerikan, bahkan para ibu rumah tangga sekarang banyak yang menjadi 'parno' alias 'para noit', atau jadi takut mendengar kata poligami, jangan disamakan para ummahat sekarang dengan ummahatul mu´minin. Jangan!!!
Kenapa? Zaman sudah berbeda kawan. Apakah para suami juga mau disamakan seperti Nabi Shallahu alaihi wa sallam? Beliau Shallahu alaihi wa sallam ber-poligami, tapi kelakuannya baik sekali. Tidak mengecewakan dan sangat menghargai istri-istrinya.
Wahai para suami yang sholeh kenalilah istri-istrimu dengan baik, pahami dan cintai dengan sepenuh jiwa, jangan disakiti, jangan dihinakan, jangan dikhianati cintanya dan jangan dibiarkan sampai keluar jalur.
Wahai para suami yang sholeh, bimbinglah istri-istrimu dengan cara yang baik, agar kau dapat menjalani keinginanmu dengan cara baik dan bijak, ingat poligami bukan sekedar penyaluran syahwat, yang berlebih.
Karena kebanyakkan para lelaki mengibaratkan, bahwa lelaki itu memiliki nafsu yang berlebih, jadi perlu penyaluran tempat yang banyak atau lebih dari satu,naudzubillahi minzalik.
Saya membaca dalam al-Qur´anul karim, tidak ada Allah menuliskan hal itu. Karena kewajiban poligami itu dikatakan bagi yang mampu dan dapat berbuat adil. Syaratnya pun tidak sembarang saja, siapa saja yang baik dinikahi, tidak seenaknya saja, misalkan memilih yang lebih cantik dan lebih seksi dari istri pertama, atau kembali ke mantan pacar.
Wah, kalau begitu tujuan utamanya saja sudah salah, bagaimana mendapat ridho Allah, istri pun pasti merasa dilecehkan, waktu susah sama-sama, istri masih muda disanjung-sanjung, tapi sudah senang cari yang baru, istri makin tua, dilupakan.
Apakah anda senang wahai para suami, melihat orang yang selama ini bersama anda, menolong kesuksesan anda, menjaga aib anda, dan bahkan makan-tidur anda selama bertahun-tahun lamanya, sejak awal susah hingga anda sukses dan melahirkan anak-anak anda, dengan ikhlas bangun malam menjaga amanah dari Allah SWT, kini orang dekat anda itu menangis.
Memohon agar anda tidak dulu menduakannya, karena dia belum siap. Namun anda tidak memperdulikannya, apakah tidak sebaiknya anda menunda dahulu agar sang istri siap dunia akhirat untuk di poligami, yang dengan tujuan karena Allah SWT, apakah anda tidak sebaiknya membimbingnya dulu agar istri anda dapat menjadi panutan para ummahat yang lain?
Apakah anda tidak sadar, bila anda berani menyakiti istri anda, berarti anda juga sudah menyakiti orang tuanya yang sudah melahirkannya, saudara-saudaranya, bahkan Allah SWT yang menciptakannya.
Melihat situasi seperti ini, mengapa poligami harus dipaksakan, poligami toh, bukan karena nafsu kan, tujuannya karena hendak menolong kan, lantas apakah anda lebih mendahulukan menolong orang lain, dari pada menolong istri anda yang saat anda utarakan niat anda tiba-tiba istri anda menjadi ling-lung dan stres dikarenakan ketidaksiapannya, mengapa anda tidak menolong rumah tangga anda dulu saja, yang sudah anda bina belasan tahun.
Poligami itu-kan menyatukan dua wanita atau lebih, menjadi saudara, dan saling membimbing serta menasehati, hidup rukun dan tidak ada percekcokan, bukankah begitu yang diajarkan Baginda Rosullullah saw, tapi mengapa ketika poligami terjadi, istri pertama dilepas atau malah istri pertama menggugat cerai, apakah ini yang dinamakan poligami, kalau kayak begini namanya bukan poligami dong, melainkan menukar istri yang lama dengan yang baru, kayak beli sepatu saja ya.
Rasulullah SAW amat sangat menghargai istri-istrinya, bahkan Siti Khadijah yang sudah wafat pun amat sangat Beliau SAW hargai dan sayangi, sampai-sampai beliau berkata pada Aisyah yang cemburu ketika Rasullullah SAWsering menyebutkan nama Khodijah, bahwa Khadijah adalah istri yang sangat beliau sayangi dan tidak tergantikan, seperti dalam hadist yang berbunyi:
Dari Aisyah radhiyallahu anha pernah berkata,
Aku tidak pernah cemburu terhadap wanita seperti kecemburuanku terhadap Khadijah, karena Nabi Shalallahu alaihi wassalam seringkali menyebut namanya. Suatu hari beliau juga menyebut namanya, lalu aku berkata, 'Apa yang engkau lakukan terhadap wanita tua yang merah kedua sudut mulutnya? Padahal Allah telah memberikan ganti yang lebih baik darinya kepadamu'. Beliau bersabda, 'Demi Allah, Allah tidak memberikan ganti yang lebih baik darinya kepadaku'.” (HR. Bukhari)
Betapa amat sangat menghargai dan cintanya Rasulullah SAW pada Siti khadijah, karena beliau sadar, tanpa peran dan pengorbanan yang diberikah oleh Khadijah selama dalam dakwahnya itu, maka dakwah yang pertama kali beliau lancarkan tidak akan sempurna, dan Siti Khodijahlah yang pertama kali beriman kepada Rasulullah SAW, serta menjaga Rosulullah di setiap saat, dari Khodjah pulalah Rosulullah mendapatkan keturunan.
Nah, bagaimanakah dengan anda wahai para suami yang budiman, adakah anda sadar apa yang telah anda lakukan selama ini, sudahkah anda membimbing istri anda dengan baik, jangan ada kebohongan dalam melaksanakan yang hak, karena kebohongan akan membawa trauma dan mempersulit keadaan.
Kebanyakan para suami terlupa akan tugas utamanya dalam rumah tangga, bila sudah tak tahan ingin melakukan poligami. Apapun akan dia lakukan, agar misinya berhasil, nikah diam-diam itu senjata utama, dan untuk berbagi waktu maka di gunakan alasan tugas kantor, atau si wanita yang berpura-pura tidak tahulah bahwa calon suaminya itu sudah berumah tangga, maka dia terima lamarannya, dan menikah.
Satu alasan yang tidak masuk akal, memang poligami bagi para suami dibolehkan, dan tidak diwajibkan untuk izin pada istri, namun secara etika  apakah tidak diutamakan kejujuran dan mendiskusikan, apakah selama ini istrinya yang senantiasa setia disampingnya hanya jadi seonggok daging tak bernyawa, ketika sang suami ada keinginan untuk menikah lagi.
Cobalah pikirkan dengan kepala dingin dan mata terbuka lebar, wahai suami yang sholeh. Jangan sampai anda yang tadinya jadi panutan, gara-gara poligami jadi runutan dan cemoohan, anda yang dulunya mengutamakan kejujuran, gara-gara poligami jadi menghalalkan kebohongan, anda yang sangat menjaga kata-kata dengan baik, gara-gara hendak berpoligami kata-kata anda jadi kasar dan menyakitkan.
Pikirkan dulu dengan matang jangan sampai menyesal di kemudian hari, anda-kan tidak mungkin menukar keluarga anda dengan keluarga yang baru, sayangkan keluarga yang telah anda bina puluhan tahun, dengan anak-anak yang jadi penerus dakwah anda, kini putus di tengah jalan, hanya karena nafsu dan kesombongan anda yang tidak terkendali.
Syurga yang anda cari justru neraka yang anda dapat, di dunia saja anda sudah sengsara karena perbuatan anda sendiri, apalagi di akhirat nanti, mau kemana anda berlari, bila yang hak saja sudah anda langgar, karena menyakiti istri, membuat hidup tak tenang, poligami pun tak bermanfaat, dakwah anda jadi terbengkalai, anak-anak anda pun menjadi pemurung dan menjauh dari keramaian.
Wallahu´alam bishawab.
Semoga bisa menjadi hikmah dan pelajaran yang baik buat para suami yang hendak berpoligami. Maaf jika tulisan ini terkesan emosi.
23 Juni 2011
teruntuk sahabatku nun jauh di sana, semoga bertambah sabar.

Jumat, 17 Juni 2011



Tiga Batu Sandungan Menggapai Keluarga Samara


Oleh : Muhammad Nuh

Siapa pun kita, terlebih lagi umat Islam yang sudah meletakkan niat berkeluarga untuk merengkuh ridha Ilahi, keluarga yang samara atau sakinah, mawadah, dan rahmah menjadi idaman sepanjang masa. Mulai dari awal pernikahan, hingga di saat anak dan cucu sudah berserakan.
Namun, adakalanya, sebuah idealita mulia itu kerap terganjal dengan kerikil yang mulanya dianggap kecil. Hal yang dianggap kecil tapi mengganggu keindahan berumah tangga itu antara lain.
1. Teknik komunikasi suami isteri yang datar
Tak banyak suami atau isteri yang menganggap serius soal teknik berkomunikasi suami isteri. Mulai dari cara memanggil pasangan, cara menyampaikan isi hati atau curhat, dan cara mengungkapkan hasrat. Padahal di tiga sisi komunikasi suami isteri ini sangat berpengaruh tergapainya keluarga samara.
Data menunjukkan bahwa penyebab perceraian terbesar bukan karena soal ekonomi dan status sosial pasangan. Melainkan, karena cara berkomunikasi suami isteri yang kurang efektif.
Umumnya, suami isteri enggan bermesra-mesraan dalam soal panggilan. Mungkin karena malu pada anak-anak dan keluarga besar jika masih tinggal bersama mertua, bisa juga karena menggap remeh panggilan mesra.
Di masyarakat tradisional, bahkan seorang isteri tega memanggil suaminya dengan nama pendek suami. Adakalanya, nama pendek yang disebut isteri cenderung agak melecehkan. Misalnya, Zainuddin dipanggil Udin, atau hanya din saja. Begitu pun sebaliknya.
Rasulullah saw. yang menjadi teladan kita, memanggil Aisyah dengan sebutan khumairoh, atau delima yang kemerahan. Sebuah panggilan yang begitu romantis.
Begitu pun dalam mengungkapkan isi hati atau curhat suami isteri. Umumnya, seorang suami menganggap sepele isi curhat yang disampaikan isteri. “Ah, soal pakaian sempit saja diomongin,” begitu kira-kira kesan suami. Padahal, hal-hal yang dianggap kecil suami dalam curhat isteri, sangat berarti besar bagi seorang isteri.
Yang harus dipahami suami adalah, curhat seorang isteri atau sebaliknya, jangan dilihat dari apa yang dicurhatkan, tapi bagaimana ungkapan perasaan seorang pasangan yang secara psikologis akan meringankan beban kejiwaan.
Begitu pun dalam soal mengungkapkan hasrat hubungan seksual. Dan ini merupakan celah hilangnya keharmonisan rumah tangga.
Umumnya pengungkapan hasrat ini muncul dari pihak suami. Walaupun dalam kondisi lain, pihak isteri juga harus punya keberanian dan keterampilan dalam mengungkapkan hasrat ini.
Tapi, terlalu vulgar menyampaikan hasrat ini pun kurang bagus, karena boleh jadi di situ ada orang lain seperti orang tua dan anak-anak. Bahasa-bahasa isyarat sebaiknya menjadi ungkapan yang bisa dipahami kedua belah pihak. Misalnya, ”Sudah shalat Isya, Ma?” Atau dari pihak isteri, ”Ayah tambah ganteng aja, nih!” Dan lain-lain.
Begitu pun dalam berkomunikasi ketika melakukan hubungan seksual. Karena masing-masing pasangan punya hasrat dan gairah sendiri-sendiri yang harus diungkapkan kepada pasangannya.
Jangan pernah malu atau sungkan mengungkapkan keinginan hasrat ini. Karena itu sangat berpengaruh pada kepuasan hubungan seksual suami isteri. Dan dari sisi ibadah, kemampuan memberikan kepuasan seksual pasangan suami isteri merupakan sedekah yang berpahala besar di sisi Allah swt.
2. Kurang menghargai hal-hal yang dianggap kecil dari pasangan
Batu sandungan kedua yang bisa mengganjal tergapainya keluarga samara adalah kurang menghargai hal-hal yang dianggap kecil dari pasangan. Dan karena hal yang dianggap kecil ini terjadi terus-menerus, bahkan menjadi budaya, suatu saat bisa menjadi bom waktu yang ledakannya teramat besar.
Umumnya, seorang suami kerap menganggap kecil untuk memberikan apresiasi dari sesuatu yang agak beda yang ditampilkan seorang isteri. Baik itu berupa penampilan, kreasi masakan, dan ide-ide pemecahan problematika rumah tangga.
Sebagai contoh, ketika seorang isteri mengenakan sebuah busana baru misalnya, hal yang sangat dinanti-nanti sang isteri adalah komentar dari suaminya. Dan biasanya, komentar yang diinginkan seorang isteri adalah yang sesuai dengan apa yang ia rasakan. Karena komentar suami yang diharapkan, biasanya hanya sebagai penguat persepsi dan rasa yang disimpan seorang isteri.
Karena itu, seorang suami sebaiknya jangan hanya asal memberikan komentar. Tapi, mencermati lebih dalam ekspresi apa yang diharapkan dari isterinya. Dalam hal ini, komentar yang sekadar asal pujian, biasanya lebih cenderung memberikan kesan memudahkan terhadap apa yang lebih diharapkan dari isteri. Terlebih lagi jika komentar lebih buruk dari itu, yaitu hanya asal kritik. ”Nggak pantes banget bajunya, Ma. Norak!”
Repotnya, ketika ditanya di mana noraknya, sang suami tidak mampu memberikan deskripsi yang memadai. ”Ya, pokoknya norak aja!” Kalau sudah begitu, akan terjadi kesenjangan hubungan emosional antara isteri dan suami.
Perhatikanlah apa yang mesti dikomentari dari yang ditampilkan atau dikreasikan oleh isteri. Buat kesan seolah-olah, dan sebaiknya memang tidak berpura-pura, berpikir agak lama sambil perhatian tertuju pada sesuatu yang akan dikomentari. Segala kesibukan apa pun, untuk sementara waktu, sebaiknya ditinggalkan. Jangan memberikan kesan seolah ada hal yang lebih penting dari tawaran komentar itu.
Komentar yang baik adalah komentar yang argumentatif. Ketika misalnya seorang suami mengatakan, ”Kok kayaknya kurang matching ya Ma, antara jilbab sama blus.” Argumentasi tidak matchingnya di mana. Apakah dari sudut pandang warna, potongan desain, atau postur tubuh si pemakai. Komentar yang argumentatif akan selain memberikan kesan apresiasi yang dalam juga mampu memberikan kritik yang konstruktif.
Kalau memang ingin mengatakan ’bagus’, berikan kesan yang spontan dan tidak sekadar pujian. Bahasa tubuh untuk menguatkan komentar ini, akan memberikan kepercayaan isteri untuk mengenakan busana itu.
Contoh lain adalah mengomentari sebuah kreasi masakan. Seorang suami sebaiknya bisa empati lebih dalam terhadap apa yang telah dilakukan isteri ketika telah berusah payah menyiapkan masakan. Terlebih lagi jika hal itu berkenaan dengan resep baru.
Bayangkan tentang segala pengorbanan itu. Bayangkan ketika harus berlama-lama di dapur yang panas karena hawa dari kompor, aneka bau-bauan yang kurang sedap, dan mungkin ruangan yang sangat sempit.
Di luar dari hasil kreasi masakan yang bisa bagus atau tidak, upaya untuk memberikan kreasi baru dari sebuah masakan saja sudah merupakan hal yang patut untuk diapresiasi.
Upayakan untuk mencicipi terlebih dahulu kreasi masakan sebelum memberikan komentar yang sebaiknya berupa pujian. Dalam hal mencicipi ini, upayakan tidak memperlihatkan aktivitas membaui masakan yang sudah jadi.
Seorang suami sebaiknya mempunyai seni untuk mengungkapkan kritik dari kreasi masakan isteri. Misalnya, untuk mengungkapkan rasa yang terlalu asin, bisa dikatakan, ’Enak, tapi kayaknya kelebihan garam.” Dan begitu seterusnya jika keaseman, dan kepedasan.
Hal ini untuk memberikan kesan bahwa keasinan dan sejenisnya itu adalah hal teknis, bukan sesuatu yang prinsipil. Dan hal teknis itu bisa disiasati dalam bentuk yang tidak terlalu serius.
Begitu pun dalam merespon sebuah gagasan penyelesaian terhadap problematika rumah tangga. Baik itu dari isteri, atau pun suami.
Dengarkan dengan baik apa yang disampaikan suami atau isteri. Berikan komentar jika hal yang disampaikan telah benar-benar selesai diucapkan. Jangan membuat gagasan baru sebelum gagasan yang disampaikan benar-benar telah disimak dan dipelajari. Dan hal ini bisa berlaku untuk gagasan yang disampaikan oleh anak-anak. 

3. Berat untuk menyampaikan kata ‘maaf’ dan memaafkan

Tak ada manusia yang luput dari khilaf dan lalai. Dan biasanya, kekhilafan atau kesalahan yang punya peluang besar teralamatkan kepada orang-orang yang paling dekat dengan kehidupan kita.

Dalam kehidupan berumah tangga, suami isteri adalah sepasang manusia yang selalu dekat dan berinteraksi dalam kondisi apa pun. Dalam suasana senang atau susah, dalam keadaan lapang atau sempit, dalam bahagia atau sedih, dan dalam suasana normal atau tidak.

Pendek kata, semua keadaan itu sangat berpeluang memunculkan kekhilafan dan kesalahan antara suami isteri. Masalahnya, ada kesalahan yang disadari, dan ada yang tidak.

Ketika seorang suami sedang mengalami hal yang tidak menyenangkan di tempat kerja, suasana ketidaknyamanan itu kadang masih terbawa ke rumah. Bisa berupa emosi yang belum stabil, dan jalan keluar solusi yang masih kusut.

Dalam keadaan inilah, kadang kekhilafan terjadi kepada seorang isteri. Apa yang dilakukan isteri kepada suami, tiba-tiba menjadi selalu salah di mata suami. Ujungnya, kemarahan bisa teralamatkan ke isteri.

Ketika hal itu berlalu. Dan seorang suami akhirnya menyadari kekhilafan yang ia lakukan kepada isteri yang mungkin masih menyimpan sakit hati, ungkapan maaf adalah sebuah kemestian. Dan sekali-kali, jangan menganggap kalau isteri sudah memaafkan kekhilafannya tanpa harus ada pengungkapan kata maaf.

Tidak jarang, seorang suami merasa begitu berat untuk mengungkapkan kata maaf kepada isterinya. Mungkin karena rasa gengsi, malu kalau isterinya akan mengambil peluang itu untuk menyalahkannya, atau karena bukan sebuah kebiasaannya. Saat itu, seperti ada bisikan batin yang sebenarnya keliru, ”Ah, lupakan saja. Nanti juga termaafkan dengan sendirinya.”

Ketika seorang suami berani dan dengan rendah hati mengungkapkan kekeliruannya dan berujung pada kata maaf, saat itu juga, wibawanya sebagai seorang pemimpin di keluarga menjadi naik. Dan di saat yang bersamaan, seorang isteri merasakan kalau ia bukan seorang bawahan dari suaminya, tapi seorang mitra yang terikat dalam jalinan cinta.

Saat itu juga, hampir bisa dipastikan, segala hal yang tidak menyenangkan dari apa yang pernah ia terima dari suami, dengan sendirinya akan lenyap, seperti debu yang berterbangan ditiup angin kencang.

Begitu pun sebaliknya, antara seorang isteri kepada suami atau antara keduanya dengan anak-anak. Jika sudah seperti itu, sebuah keluarga tak ubahnya seperti suasana surga, yang penghuninya tidak lagi menyimpan rasa ketidaknyamanan terhadap penghuni yang lain.

Di antara kunci dari keberanian untuk mengungkapkan kata maaf adalah rasa empati yang tinggi terhadap hak diri orang lain. Terlebih lagi terhadap orang-orang yang sangat dicintai.

Beberapa kesalahan kecil yang mungkin terlewatkan dan akhirnya menjadi endapan rasa ketidaknyamanan antara lain, tidak tepat waktu dalam kesepakatan, melupakan janji walaupun dalam hal kecil, keceplosan dalam bicara, tidak mampu menyempurnakan kewajiban secara baik, dan lain-lain.

Ketika seorang suami atau isteri menyampaikan ungkapan maaf, akan lebih baik jika memperhatikan beberapa hal berikut. Fokuskan pandangan kepada wajah pasangan kita, berikan sentuhan yang lembut, dan ungkapkan dengan penuh kerendahan hati. 



Chat Room