Saat pertama kali putri kecil kami terlahir di dunia, dia menjadi simbol kebahagiaan bagi kami, orang tuanya. Bahagia yang tiada tara kami rasakan karenanya. Kami menjaganya siang dan malam, sampai kami melupakan keadaan diri sendiri. Kami sadar, memang seharusnyalah seperti itu kewajiban orang tua.
Kami besarkan dia dengan segenap jiwa dan raga. Kami didik dengan semaksimal ilmu yang kami punya. Dan kami jaga dia dengan penuh kehati-hatian.
Dan waktupun berlalu...
Dia kini telah menjadi sesosok gadis yang cantik. Betapa bangga kami memilikinya. Kami berpikir, betapa cepat waktu berlalu, dan terbersit dalam hati kami untuk tetap menahannnya disini. Bukan bermaksud meletakkan ego kami atas hidupnya, Namun sebagai orang tua, siapa yang dapat berpisah dari anaknya. Putri kesayangannnya.
Tapi,...
Hari ini, akhirnya datang juga. Saat dimana kami harus melihatnya terbalut dalam pakaian cantik, yaitu gaun pengantinnya. Gadis kecil kami telah tumbuh dewasa. Dan sesudah ijab kabul ini, kau lah kini yang menjadi penjaganya. Menggantikan kami. Mari ikatkan tanganmu kepadanya.
Waktu akhirnya memaksa kami berpisah dengannya. Walaupun kau adalah orang yang asing dan baru sebentar dikenalnya, sedangkan kami adalah orang tuanya yang telah mengorbankan semua yang kami punya untuknya. Namun, tak ada sama sekali kemarahan kami atas dirimu, menantuku. Namun ijinkan kami sedikit meluapkan kesedihan atas seorang putri kami yang harus jauh meninggalkan kami, karena harus mengikutimu. Kamipun tak akan protes kepadamu, karena mulai hari ini, dia harus mengutamakan kau diatas kami.
Tolong, jangan beratkan hatinya, karena sebenarnya pun hatinya telah berat untuk meninggalkan kami dan hanya mengabdi kepadamu. Seperti hal nya anak yang ingin berbakti kepada orang tua, pun demikian dengannya. Kami tidak keberatan apabila harus sendiri, tanpa ada gadis kecil kami dulu yang selalu menemani dan menolong kami dimasa tua.
Kami menikahkanmu dengan anak gadis kami dan memberikan kepadamu dengan cuma- cuma, kami hanya memohon untuk dia selalu kau jaga dan kau bahagiakan.
Jangan sakiti hatinya, karena hal itu berarti pula akan menyakiti kami. Dia kami besarkan dengan segenap jiwa raga, untuk menjadi penopang harapan kami dimasa depan, untuk mengangkat kehormatan dan derajat kami. Namun kini kami harus menitipkannya kepadamu. Kami tidaklah keberatan, karena berarti terjagalah kehormatan putri kami.
Jika kau tak berkenan atas kekurangannya, ingatkanlah dia dengan cara yang baik, mohon jangan sakiti dia, sekali lagi, jangan sakiti dia.
Suatu saat dia menangis karena merasa kasihan dengan kami yang mulai menua, namun harus sendiri berdua disini, tanpa ada kehadirannya lagi. Tahukah engkau wahai menantuku, bahwa kau pun memiliki orang tua, pun dengan istrimu ini. Disaat kau perintahkan dia untuk menemani orang tuamu disana, pernahkah kau berpikir betapa luasnya hati istrimu? Dia mengorbankan egonya sendiri untuk tetap berada disamping orang tuamu, menjaga dan merawat mereka, sedang kami tahu betapa sedih dia karena dengan itu berarti orang tuanya sendiri, harus sendiri. Sama sekali tiada keluh kesah darinya tentang semua itu, karena semua adalah untuk menepati kewajibannya kepada Allah.
Dia mementingkan dirimu dan hanya bisa mengirim doa kepada kami dari jauh. Jujur, sedih hati kami saat jauh darinya. Namun apalah daya kami, memang sudah masa seharusnya seperti itu, kau lebih berhak atasnya dari pada kami, orang tuanya sendiri.
Maka hargailah dia yang telah dengan rela mengabdi kepadamu. Maka hiburlah dia yang telah membuat keputusan yang sedemikian sulit. Maka sayangilah dia atas semua pengorbanannya yang hanya demi dirimu. Begitulah cantiknya putri kami, Semoga kau mengetahui betapa berharganya istrimu itu, jika kau menyadari.
(Syahidah/Voa-islam.com)
Kamis, 22 September 2011
Senin, 19 September 2011
Jangan Meminta dan Berharap kepada Suami!

Ternyata 11 tahun pernikahan belum cukup untuk Bu Rina mengenal suaminya, hal-hal seperti ini sering terjadi dan membuat Bu Rina menangis dan sakit hati. Sebenarnya Bu Rina mengakui suaminya itu orang yang sangat baik tidak pernah marah, selama ini mereka menjalani kehidupan apa adanya tidak punya target apa-apa dan Bu Rina juga tidak pernah menuntut macam-macam. Sampai-sampai motor mereka yang butut sering dibicarakan orang "masa orang kantoran ga bisa beli motor yang bagusan" begitu gunjing mereka. Bu Rina hanya ingin suaminya itu tidak lamban dalam mengambil keputusan dan bisa mengatur waktunya agar tidak membuat orang lain kesal.Salah satu kelambanan Pa Faisal dalam mengambil keputusan adalah membetulkan genteng rumah yang bocor padahal sebentar lagi musim hujan akan datang tapi Pa Faisal masih santai aja belum merencanakan kapan di perbaiki apalagi memanggil tukang, Bu Rina sudah males untuk mengingatkan suaminya karena pasti jawabannya cuma "iya" tapi ga ada tindak lanjutnya.
Bu Rina sudah bertekad supaya dia tidak sakit hati lagi:
1. tidak akan mengajak pergi, kecuali suaminya yang mengajak
2. tidak akan mengingatkan apapun yang harus suaminya kerjakan (menyuruh)
3. membiarkan suaminya yang memenuhi keperluan rumah (makanan dsb)
4. tidak akan meminta apapun ke suami kecuali di beri
5. membiarkan suaminya tahu sendiri keinginan anak mereka
banyak lagi yang Bu Rina mau sebutkan tapi intinya......"tidak mau berharap dan meminta kepada suami" karena Bu Rina tidak mau kecewaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa lagiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii.
Langganan:
Postingan (Atom)